Kampanye Demi Popularitas Atau Elektabilitas
Pada musim pemilihan ini, sudah menjadi kewajaran
umum bahwa kampanye adalah alat untuk menginformasikan sekaligus sebagai penarik
suara bagi setiap kandidat yang mencalonkan sebagai anggota legislatif atau
ekskutif. Tidak luput pula dalam ajang pilpres tahun ini, yang juga menggunakan
kampanyesebagai wadah untuk mengumpulkan dukungan atau simpatisan bagi kedua Paslon
(pasangan calon) baik Paslon 01 atau 02.
Pada dasarnya, kampanye merupakan media informasi publik
untuk meminta doa restu, dukungan dan suara bagi kandidat sehingga mereka berhasil
menduduki kursi panas yang diimpikannya. Karena berbentuk informasi, maka tentu
, kampanye tersebut harus berisi dengan pertanyaan yang santun, tidak ada unsur
SARA serta berdasarkan pada data/fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun sayangnya,
model kampanye yang berkah tersebut sudah terkotori oleh oknum-oknum yang tak bertanggung
jawab sehingga ia manjadi kampanye hitam (black Champaign). Sehingga kampanye semata-mata
bertujuan untuk meningkatkan popularitas bukan elektabilitas; hanya untuk menarik
simpatik publik bukan menyejahterakannya; hanya untuk pencitraan bukan pembuktian;
dan hanya untuk jualan janji-janji bukan bukti.
Dan ironisnya lagi, kampanye hitam tersebut juga seringkali
menyinggung isu SARA khususnya isu agama untuk menjatuhkan lawan. Mereka tidak segan-segan
membungkus kampanye tersebut dengan dukungan teks-teks agama sebagai
argumentasi atau dengan mengutip fatwa ulama sehingga seakan-akan Paslon yang diusungnya
benar-benar sah secara agama dan layak untuk dipilih secara demokratis publik.
Maka tak heran bila kemudian muncul ide politik identitas sebagai satu-satunya
jalan kampanye yang paling manjur untuk meraih dukungan suara di hati masyarakat.
Dan berikut ini, penulis hendak menampilkan dua bentuk
contoh kampanye di kontestasi pilpres tahun ini yang ditunukkan untuk masing-masing
kedua Paslon. Dan pertanyaan selanjutnya; apakah model kampanye berikut ini hanya
demi meningkatkan popularitas semata atau demi elektabilitas keduanya?. Silakan
Anda menilainya.
Model kampanye pertama adalah yang terkesan datang
dari pendukung Paslon 01 dan dan memprovokasi paslon 02. Dalam ini, penulis
dapatkan dari postingan media sosial di mana seakan-akan kampanye tersebut menilai
sebelah pihak bahwa yang pantas menang adalah Paslon 01 bukan 02 karena hanya
didasarkan pada hitung-hitungan cocok mencocokkan. Kampanye tersebut tertulis begini;
01. Joko Widodo = 10 huruf
Indonesia. = 9 huruf
--------------------------------------------
19= 2019
10 + 9 = 19 = 2019
10 - 9 = 01 = Jokowi
02. Prabowo Subianto = 15 huruf
Indonesia = 9 huruf
--------------------------------------------------
24= 2024
15 + 9 = 24
= 2014
15 - 9 =
06 = x. Anda belum beruntung . Silahkan coba lagi di 2024.
Bila diminta menilai kampanye ini, tentu penulis
langsung menyatakan bahwa itu hanya asal-asalan. Bukan termasuk survei apalagi fakta
yang berdata. Ia hanya perkiraan yang berdasarkan pada ilmu cocokologi. Penulis
berkomentar seperti ini bukan dalam rangka menyudutkan Paslon 01 dan mendukung 02.
Bukan. Melainkan hendak meluruskan dan menempatkan prosedur kampanye yang baik.
Yakni harus berdasarkan pada fakta; bukan asal cocok mencocokkan. Sebagaimana yang
telah disinggung di awal. Lebih dari itu, menang atau kalahnya suatu pemilihan juga
bukan dari hasil prediksi perhitungan semacam itu; melainkan tetap menjadi
bagian dari takdir Allah dan Iradah-Nya.
Jadi berkampanye lah sesuai fakta yang logis, kredibel dan mencerdaskan.
Kemudian model kampanye kedua adalah yang dinilai
datang dari pendukung Paslon 02 dan memprovokasi paslon 01. Sebab menyinggung
isu agama bahwa calon presiden yang layak dipilih adalah presiden pilihan ulama
bukan memilih ulama pilih presiden.
Lebih tepatnya, kampanye provokatif tersebut berslogan seperti ini: "Pilih
presiden pilihan ulama dan jangan pilih ulama pilihan presiden".
Tentu, ketika mendengar slogan ini, siapapun---
termasuk penulis--- langsung menilainya sebagai bentuk provokatif yang amat keliru---
bila enggan mengatakan menyesatkan. Sebab, slogan itu lagi-lagi menguntungkan
satu pihak dan merendahkan pihak lain. Bahkan sudah berbau SARA. padahal, sudah
disepakati bahwa kampanye harus santun, cerdas dan mencerdaskan bukan memantik
emosi atau membodohi publik. Slogan tersebut seakan-akan menyatakan bahwa yang
layak menjadi presiden adalah calon yang direkomendasikan ulama. Bukan presiden
yang memilih ulama sebagai wakilnya. Padahal, secara konstitusional, kedua Paslon
tersebut sudah sah legal dan diterima oleh hukum. Berkaitan dengan larangan memilih
Paslon 01, hemat penulis, itu sungguh keterlaluan. Sebab, boleh atau tidaknya
memilih suatu kandidat kursi panas itu bukan semata-mata ditentukan dari konsensus
satu orang (ulama/presiden) atau lembaga tertentu. Lebih tepatnya, soal pilih
memilih sama sekali tidak ada kaitannya dengan sesat menyesatkan. Karena sama sekali
tidak ada dalil/teks agama yang mengarah ke hal tersebut.
Jadi, cukuplah menampilkan kampanye demi menaikkan popularitas
sembari merendahkan pihak lawan bahkan menyesatkannya. Mari kita serukan kampanye
yang cerdas dan mencerdaskan; sopan dan menyejukkan. Karena inti dari kampanye adalah
wadah untuk menguatkan tali silahturahmi dan pembuktian janji. []
Comments
Post a Comment