Duta lalu Lintas: Antara Penghormatan dan Efek Jera


Duta Lalu lintas; antara penghormatan dan efek jera

Minggu lalu (27/11/2017), warga Indonesia khususnya Jakarta tengah dihebohkan dengan salah satu tingkah public figur. Yakni seorang artis sinetron, Dewi persik yang tertangkap basah melanggar jalur busway di daerah Jakarta Selatan. Saat itu, masyarakat yang menyaksikannya, langsung meneriaki dan memakinya. Sontak pemain film Eatu Laut Kidul itu pun tak terima. Bahkan ketika petugas polantas menghadapinya, diberitakan ia malah memarahinya sambil beralasan bahwa ia hendak mengantar asistensinya ke rumah sakit. Tidak sampai di sini, kasus pelanggan ini akhirnya sampai-sampai diisukan membawa namannya sebagai "Duta Lalu lintas". Sangat lucu, namun demikian yang beredar. 

Jauh sebelum dirinya, kasus serupa juga dialami oleh salah satu pedangdut Indonesia, Zaskia gotik, yang saat itu (20/3/2016) diduga telah melecehkan Pancasila. Dan lagi-lagi, keputusan akhirnya, bukan malah di hukum, tapi diberi kehormatan sebagai"Duta Pancasila". Sangat konyol, namun itulah yang terjadi.

Setelah mendengar berita tersebut, tentu kita akan mengelak dengan sekuat tenaga; mana bisa seseorang pelanggar mendapatkan gelar kehormatan?" Bukankah itu suatu kedzaliman yang nyata?. Baiklah, itu memang alasan logis dan emosional yang layak diluapkan untuk kedua pelaku tersebut. Untuk itu, sebelum menge-jugde lebih serius, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu latarbelakang belakang di pemberian gelar duta; apa itu gelar kedutaan?; karena apa seseorang layak diberi gelar tersebut; dan siapa yang pantas menyandangnya?. 

Duta adalah semacam gelar atau penghargaan diplomatik resmi dari pemerintah bagi seseorang atas prestasinya dalam menjalankan tugas-tugas tertentu. Gelar ini, tidak sembarangan diberikan kepada siapapun. Namun memiliki seleksi ketat yang melibatkan prosentase keberhasilan, kesuksesan, dan kontribusi calon penyandang gelar bagi masyarakat dari tugas yang diembannya itu. Sebut saja misalnya, duta pariwisata. Berarti orang yang meraih gelar ini telah menorehkan prestasi di bidang kepariwisataan. Seperti kesuksesan dirinya memasarkan objek wisata ke mancanegara; mengubah objek wisata sebagai cagar budaya dan penopang perekonomian masyarakat; atau ia telah menjadi ekosistem yang hampir punah di dalam suatu lingkungan tertentu. Begitu juga dengan gelar-gelar duta lainnya; duta kesehatan, duta pendidikan, termasuk juga dua Pancasila dan duta Polantas pada kasus di atas. Jadi, gelar "Duta" adalah bentuk apresiasi atas jasa dan kontribusinya bagi masyarakat dan negara.

Jika demikian, apakah pemberian gelar duta bagi dua artis di atas itu sudah tepat?. Tentu kita kan Jawab; sangat tidak tepat. Ya, karena gelar tersebut ada jika yang bersangkutan telah mengukir jasa dan prestasi di bidangnya. Namun, pada kasus dua artis di atas, jelas-jelas tidak ada bentuk jasa atau prestasi apapun; justru malah karena "kejelakaan" atuh pelanggan. Lalu, apa alasan sebenarnya di balik pemberian gelar duta kepatuhan lalulintas DKI dan duta Pancasila bagi kedua artis pedangdut itu?. Barangkali jawaban tepatnya adalah sebagai bentuk pendidikan yang membawa efek jera bagi pelakunya. Artinya, dengan diberi kelar duta tersebut, secara tidak langsung keduanya akan menyadari bahwa dirinya pernah salah dan pada akhirnya ia akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Sebab, kini ia adalah cerminan dari gelar kehormatan. Tidak layak, jika ia melanggar yang kedua kalinya. Begitu juga dengan kasus Dewi persik dan Zaskia gotik. Dengan dianugrahi gelar duta tertib lalulintas dan Duta Pancasila, DP dan Zaskia nantinya akan lebih patuh menaanti aturan berkendara dan memahami Pancasila. Ia akan sangat malau bila ketahuan melanggar Kembali, sementara ia tengah menyandang gelar kehormatan itu. Bukankah ini satu bentuk pendidikan yang lebih efesien?.

Baiklah, alasan semacam itu barangkali masih bisa diterima. Namun, jangan lupa, bahwa sekali lagi, seluruh masyarakat Indonesia sangat terpukul dan tidak rela sekali jika kedua pelaku di atas memperoleh gelar itu. Bukannya sinis atau apalah; tapi ini soal keadilan dan profesionalisme dalam memberikan putusan.  Jika negara ini adalah negara Hukum, dimana setiap orang dari semua kelas sosial dipandang sama, maka sudah seharusnya pemerintah lebih tegas lagi dalam menangani kasus pelangggaran publik figur;  yakni yang semestinya mendapatkan hukuman bukan malah meraih kehormatan. Tolong, tempatkan sesuatu pada porsi dan haknya. Bukan sesuai status atau jabatannya. Jangan sampai rakyat kecil atau pahlawan di pelosok negeri sana, selalu menjadi korban ketidakadilan ini.[]

Comments