Khilafah dalam Kacamata Mufasir

Khilafah dalam Kacamata Mufasir
(Tafsir Surat al-Maidah ayat 48-49 Menurut al-Qurthubi)
===========================
Oleh: Ust. Zakiyal Fikri Muchammad

Untuk mewujudkan impiannya, yakni  mendirikan negara Islam yang bersistem khilafah, maka Hizbu Tahrir menggunakan pelbagai dalil baik al-Qur'an, hadist maupun logika untuk melegitimasi gagasanya tersebut. Sehingga berbagai ayat Al-Quran mereka ajukan. Dan salah satu hujah mereka itu adalah Qs. al-Maidah [5]: 48-49 yang berbunyi:
 ".......maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Qs. al-Maidah [5]:48-49).
 Ya, dua ayat ini oleh mereka diyakini sebagai argumentasi paling kuat untuk mendirikan khilafah. Terutama diisyaratkan pada kata "ihkam (putuskan lah) yang menggunakan redaksi Amr (perintah) sehingga bersifat tegas dan wajib. Di samping itu, maksud "ihkam" tersebut, juga mereka tafsirkan dengan "wajibnya memutuskan perkara berdasarkan sistem khilafah dan garus dilakukannya oleh seorang Khalifah." Sehingga karena hal ini, Khalifah dan sistem khilafahnya merupakan suatu suatu keharusan karena memang Nabi yang memerintah dan Al-Quran sendiri yang mengukuhkannya.
Yang menjadi pernyataannya adalah "apakah benar bahwa kedua ayat di atas tersebut merupakan hujah akan legalnya mendirikan khilafah?" Atau betulkah kata "ihkam (putuskan lah) di atas memang dimaksudkan sebagaimana tafsiran Hizbu Tahrir tersebut?." Untuk menjawab pertanyaan ini, maka sangat tepat bila kita merujuk kepada pendapat para mufasir otoritatif. Dan salah satu dari mereka itu adalah al-Qurthubi, seorang mufasir kondang dengan karyanya, Al-Jami' Li Ahkam Al-Quran.
Dipilihnya al-Qurthubi sebagai pihak yang akan mengomentari persoalan dua ayat di atas, bukanlah tanpa sebab. Melainkan memang karena kontribusi dan sepak terjang beliau dalam kancah penafsiran al-Qur'an sangat di perhitungkan. Terlebih lagi, karena kitab Tafsir beliau tersebut, secara konten dan pendekatannya, memang berhalauan tentang hukum Islam. Maka, sangat tepat sekali, bila penulis libatkan dalam persoalan ini. Jika dengan demikian, lalu bagaimana gagasan dan penafsiran beliau terhadap ayat 48-49 surat al-Maidah di atas?. Bagaimana seorang al-Qurthubi memandang sistem khilafah sebagaimana yang dirawat Hizbu Tahrir?. Untuk menemukan jawabannya, mati kita simak simak ulasan berikut ini!!!
Menurut Hizbu Tahrir, ayat ini merupakan hujah paling tegas tentang wajibnya mendirikan hukum Allah alias Syariat Islam. Dan dilarang untuk mengikuti hawa nafsu sebagai pijakan hukum untuk memutuskan urusan manusia. Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa ayat ini mengindikasikan adanya kesinambungan yang paten untuk memilih seorang pemutus berdasarkan pedoman al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain, sekalipun Nabi Muhamamd telah wafat, kewajiban untuk memutuskan segala hukum berdasarkan panduan al-Qur’an iru terus berlanjut sampai saat ini karena ayat tersebut bersifat tegas (redaksi amr). Sehingga dari sini, maka kata hakama dalam ayat tersebut sudah dialihkan yang tadinya bermakna seorang pengendali kemudian berubah menjadi “khalifah dan sistemnya khilafah.” Demikian menurut mereka.
 Sementara menurut al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat ini berkenaan tugas Nabi Muhammad yang mengharuskan memutuskan perkara seusai dengan hukum-hukum Allah yakni al-Qur’an bukan mengikuti hawa dan keinginan kaum yahudi. dalam ayat ini, beliau sama sekali tidak memahami kata hakama dengan makna khalifah dan khilafah sebagaimana yang didakwakan Hizbu Tahrir di atas. Beliau hanya menyampaikan wajibnya memutuskan sesuai dengan hukum allah, dan sasaran ayat ini pun ditunjukkan kepada Nabi Muhammad. beliau menyatakan:
“jangan tinggalkan untuk memutuskan sesuai dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah dari al-Qur’an untuk menjelaskan kebenaran dan hukum-hukum” .....”maka allah melarangnya (Muhammad) untuk  mengikuti apa yang dinginkan mereka.”
 Lebih jauh lagi, ternyata beliau juga tidak memberikan pernyataan akan wajibnya ketersinambungan untuk meneruskan tugas Muhammad tersebut di masa sekarang ini yakni dengan memilih seorang khalifah dan menjadikan khilafah sebagai sistemnya. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman beliau ketika menafsirkan ayat selanjutnya “لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا  “yakni bahwa ayat ini menjelaskan tentang sudah tidak ada keterkaitan dengan syariat terdahulu (baca: sebelum Islam). Dengan kata lain, setiap kaum memiliki syariat (aturan agama) dan minhaj (aturan hidup) masing-masing sesuai zamannya saat itu. Untuk itu, -lannjut beliau- kitab Injil hanya berlaku untuk kaumnya (Nasrani), kitab Taurat untuk pemiliknya (Yahudi), dan begitu juga al-Qur’an hanya berlaku untuk pemiliknya saja yakni umat Muslim dan ini pun hanya terbatas pada tatanan syariat dan peribadatan saja.
Dari pernyataan beliau ini, maka dapat disimpulkan bahwa pesan yang hendak disampaikan di dalam ayat ini adalah perlunya memutuskan perkara sesuai dengan agama yang dianut oleh si hakim tersebut. Dan substansi agama lah yang menjadi bahan pertimbangannya. Artinya, siapa saja bisa menjadi hakim untuk agama yang dianutnya, Asalkan harus tunduk dengan putusan yang telah diturunkan oleh allah untuk agamanya tersebut. Sementara keharusan meneruskan sistem pemutusan sebagaimana yang dilakukan nabi saat itu, lalu kemudian dilakukan untuk saat ini dalam satu sistem yakni khilafah islamiyah adalah suatu perkara yang barangkali berlebihan. Karena yang terpenting di sini adalah esensi dan substansi al-Qur’an sebagai serta kredibilitas seorang hakim dalam memutuskan perkaranya, bukan semata-mata ditentukan oleh satu sistem (baca: khilafah) saja, sebab bumi dan multikultural masyarakat saat ini khususnya Indonesia berbeda dengan bumi dan multikultural dimana sistem khilafah berkemban di zaman Nabi.
Kemudian berkaitan dengan perdebatan apakah ayat 49 ini me-nasakh ayat sebelumnya yakni 42, al-Qurthubi sendiri memiliki pendapat yang cukup unik. Kenapa bisa demikian?. Sebab, di dalam kitabnya itu, mula-mula beliau merekam adanya pe-nasakh ayat sebelumnya. Dalam hal ini beliau mengatakan: “telah kami sebutkan bahwa ayat ini diturunkan belakangan, maka ia adalah pe-nasakh (ayat sebelumnya).” Namun di akhir pernyataannya, beliau justru menegaskan bahwa ayat ini masih ada keterkaitan erat dengan ayat 42 tersebut sehingga secara tidak langsung tidak ada naskah di dalam kedua ayat ini.
 Sehingga konsekuensi dari pendapat beliau ini adalah adanya semacam hak pilh/kebebasan (takhyir) bagi nabi untuk memutuskan atau berpaling dari mereka. dan jika dikaitkan dengan kewajiban memilih khalifah dan sistem khilafah  yang digaungkan oleh Hizbu Tahrir, maka pendapat mereka tersebut terkesan memaksa dan terlalu kaku. Bagaimana tidak?. Nabi Muhammad saja ternyata diberi kebebasan oleh allah untuk memutuskan dengan hukum allah atau tidak. Sementara Hizbu Tahir justru menjadikan hukum islam sebagai satu kewajiban mutlak dalam memutuskan suatu perkara. Bukankah ini suatu pemaksaan?. Dari penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa pengangkatan  khalifah dan khilafah sebagai sistemnya merupakan satu gagasan yang memaksa atau tergesa-gesa, sebab telah menghilangkan unsur takyir (hak pilih) yang menjadi bagian dari dua ayat tersebut. Dengan demikian, sistem khilafah bukanlah suatu kewajiban yang paten.[]





Comments