Memaafkan bukan Berarti Melupakan

Memaafkan bukan Berarti Melupakan

Sejarah adalah spirit dan kebanggan bagi generasi selanjutnya. Namun ia juga bisa menjadi "luka" bahkan dendam bagi mereka. Ya, begitu lah sejarah. Manis --- pahitnya, akan terus terkenang sepanjang masa. Oleh karena itulah, Sang Proklamator bangsa, Soekarno selalu mengingatkan kita dengan slogannya, JAS MERAH (Jangan sekali-kali Meninggalkan sejarah)---- sebagai wadah untuk menilai, mengapresiasi,  dan mengambil ibrah dari sejarah tersebut  untuk membangun peradaban lebih baik di masa yang akan datang.

Termasuk pula bila sejarah tersebut adalah sejarah yang penuh kebengisan, kelam dan tak berperikemanusiaan, juga mesti kita nilai dan bercermin kepadanya, bukan dalam rangka menumbuhkan rasa dendam yang tak pernah ada habisnya. Melainkan untuk menemukan jati diri bangsa yang  sesungguhnya. Berkaitan dengan ini, setidaknya ada dua sejarah kelam yang sampai sekarang ini masih meninggalkan "luka" yang cukup menyakitkan bagi warga negara kita terlebih bagi umat Islam itu sendiri. Pertama adalah sejarah kelam PKI kedua sejarah kebengisan Wahabi-Ekstrimis.

Untuk yang pertama, yakni sejarah kelam PKI, baru-baru ini memang menjadi topik hangat yang tengah disoroti oleh seluruh elemen bangsa ini. Khususnya terkait isu pemutaran film G30 S PKI hingga sampai isu pelurusan kembali film tersebut yang disesuaikan dengan peradaban manusia melenial. Sudah tidak diragukan lagi, bahwa sejarah PKI adalah sejarah yang paling kejam, dan biadab. Bagaimana tidak?. Semua orang saat itu, mulai dari petinggi negara, para jenderal, warga sipil, hingga santri pun menjadi korban kebejatan mereka. Kurang lebih sekitar 78.000 mayat bergelimpangan saat itu.

Akibat kejadian tersebut, wajar sekali bila bangsa ini sangat terluka bahkan bisa dibilang ini adalah "warisan dendam" yang akan terus bangkit. Sehingga konsekuensinya, semua yang berkaitan atau yang  berbau PKI, dengan sigap akan menuai reaksi penolakan bahkan anarkis. Salah satu contohnya adalah bila ada warga kita yang memakai atribut PKI yakni lambang PALU ARIT atau sengaja menyanyikan lagu "GENJER-GENJER", maka tak beberapa lama, ia akan diciduk oleh pihak berwenang. Katanya, semua ini dinilai sebagai bentuk ekspresi emosional warga Indonesia, selaku "korban "--- yang pada batas tertentu barangkali masih bisa dimaklumi, namun bila sudah mengarah kepada balas dendam dan saling bunuh, tentu ini bukan lagi masalah emosional, tapi kekerasan abnormal dan layak mendapatkan sanksi berat.

Karena alasan inilah, Din Syamsuddin, mantan ketua Muhammadiyah pun berkata: "keturunan PKI itu tidak menurunkan kesalahan orang tuanya" sebagai reaksi terkait pemutaran film G30 S PKI. Tentu, ucapan Din Syamsuddin ini, bukan dalam rangka  membiarkan atau melupakan sejarah PKI itu sendiri. Sama sekali tidak. Melainkan untuk mencari solusi dan untuk meredamkan amarah umat yang terlanjur terluka. Yang mana bila amarah itu terus dibiarkan, sangat dikawatirkan justru menimbulkan korban baru lagi dan mengusik stabilitas negara. Sehingga itu perlu dihentikan atau paling tidak ditenangkan sejenak. Karena menjaga perdamaian itu lebih baik ketimbang menuntut dendam yang tak ada habisnya. Begitu kira-kira alasannya.

Sementara yang kedua, yakni kebengisan Wahabi-Ekstrimis juga merupakan salah satu sejarah yang membuat seluruh dunia khususnya umat Islam terluka. Lalu apa yang diperbuat Wahabi-Ekstrimis hingga mereka menggoreskan sejarah kelam bagi umat muslim?. Alasannya adalah karena mereka telah merusak situs umat Islam yang bersejarah yakni menghancurkan makam-makam, gedung dan perpustakaan peninggalan Nabi dan para sahabatnya. Dengan dalih islam puritan dan untuk menumpas segala jenis syirik, bid'ah, khurafat. Ya, ia adalah Muhammad bin Abdul Wahhab sang pendiri sektor Wahabi yang kemudian merangkul Raja Saudi, King Sa'id untuk melancarkan visi-misinya itu dengan cara membumi hanguskan segala situs yang menjadi objek "syirik" yakni makam-makam yang terletak di Baqi' dan Ma'la. Semua makam di dalamnya rata dengan tanah. Hampir tak membekas sedikitpun. Bahkan makam para sahabat pun seperti: Abdullah, Aminah, Abbas, Hamzah dan Usman bin Affan, juga menjadi korbannya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1818 dan puncaknya pada 21 April 1926. Tentu, Peristiwa ini tak akan terlupakan dan mesti menjadi sejarah kelam bagi mereka yang kemudian melahirkan luka sejarah bagi umat Islam pada umumnya.

 Tidak hanya itu, "kejahatan'" sakte ini juga terlihat dari bagaimana mereka memalsukan dan merubah kitab-kitab karangan ulama salaf dengan tujuan mendukung visi-misinya dan juga mendoktrin kepada masyarakat dengan ajaran Wahabi tersebut. Secara jelas , dapat kita saksikan aksi kejahatan intelektual mereka sebagaimana yang disebutkan dalam buku "Sejarah Berdarah Sekte Wahabi" dan "Mereka Memalsukan Kitab-kitab Ulama Salaf' karya Syekh Idahram, dimana di dalamnya disebutkan, bahwa ada puluhan bahkan ratusan kitab ulama Aswaja diplesetkan seperti kitab Shahih Bukhari-Muslim, Bulughul Maram, Fathul al-Bari dan lain sebaginya. Yang pada akhirnya, akibat ulah mereka, semua konten dan isi kitab tersebut sangat sarat dengan ajaran Wahabi; yang awalanya hadis Shahih kemudian di rubah menjadi dhai'if. Semua itu semata-mata untuk mendukung ajaran sekte ini. Sehingga wajar bila kemudian banyak ulama dan umat muslim seluruh dunia mengecam keras dan menilai mereka adalah khawatij akhir zaman yang perlu diwaspadai.
Kita aku, bahwa memang, baik sejarah PKI maupun Wahabi-Ekstrimis tersebut adalah sejarah kelam yang membuat umat ini terluka amat parah. Secara emosional, kita pun layak untuk mengecam, marah, dan waspada dengan gerakan dua aliran ini. Namun, sebenarnya ada satu yang barangkali lebih baik ketimbang terus menumbuh rasa marah dan kekesalan bahkan dendam kepada mereka, yakni mencoba memaafkan mereka. Memaafkan dalam arti, menjadikan dua sejarah tersebut sebagai ibrah bukan untuk melahirkan dendam kembali. Memaafkan dalam arti kita menjaga perdamaian dan stabilitas nasional ini yahg telah lama tertanam subur Dan memafkan bukan dalam arti kita melupakan, atau membiarkan mereka begitu saja. Bukan. Tapi memaafkan dalam arti kita "melawan" mereka dengan peradaban yang lebih baik, dan "mewaspadai" dengan tindakan yang lebih lembut dan berkemanusiaan. Bukankah Allah telah beriman:

"Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit[1], dan orang-orang yang menahan amarahnya[2] dan mema’afkan (kesalahan) orang lain[3]. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan[4]." (Qs. Ali Imran: 133-134).

Di akhir tulisan ini, penulis akan mengutip pernyataan Gus Dur terkait soal PKI yang baru-baru ini terus menjadi polemik bangsa. Yang mana, setidaknya dari pernyataan itu, kita menjadi lebih bijak dan mudah mengedepankan kelembutan bukan amarah apalagi dendam. "Saya tahu banyak kyai-kyai NU yang menjadi korban. Tapi tak sedikit pula orang PKI yang jadi korban. Bahkan paman saya, pak Ud (panggilan akrab KH. Yusuf Hasyim) merupakan pimpinan Ansor yang turut melawan PKI. Saya tidak menyalahkan kyai-kyai NU yang mengambil sikap keras kepada PKI. Baik NU maupun PKI sama-sama korban keadaan. Membunuh atau dibunuh, itu yang terjadi. Masalahnya, pak Harto menimpakan seluruh kesalahan kepada PKI, dan seolah-olah tentara bersih. Sekarang sudah banyak peneliti yang melihat peristiwa 65 dai berbagai sudut pandang yang menunjukkan adanya persoalan internal tentara, tepatnya angkatan darat. Tidak ada faktor tunggal dalam peristiwa itu. Sekali lagi, NU dan PKI adalah korban keadaan. Karena itu, tak ada salahnya saya minta maaf karena saya tidak mau mewariskan kebencian kepada generasi muda nu. Dengan pemaafan, maka generasi muda NU akan lebih ringan beban sejarahnya." []

Comments