Al-Qurthubi dan Hukum Islam


Al-Qurthubi dan Hukum Islam

     Tiga ayat dalam surat al-Nisa yakni ayat 44, 45, dan 47 yang berbunyi; Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (ayat 44). “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (ayat 45). “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (ayat 47) oleh sebagian kalangan khususnya Hizbu Tahrir, disebut-sebut sebagai hujah paling mantap terkait kewajiban mendirikan Syariah Islam dalam pelbagai bidang kehidupan tanpa terkecuali. Sehingga baik dalam urusan agama, sosial sampai ketatanegaraan, Syariat Islam harus didahulukan dan harus menjadi satu-satunya undang-undang yang paten. Sebab tiada hukum yang paling bebar kecuali hukum Allah, dan itu adalah Syariah Islam.
      Untuk itu, menurut pemahaman mereka, orang-orang yang menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai pijakan dasar dalam mengurusi persoalan manusia di dunia ini, maka disebut sebagai bagian dari orang fasik, dzalim bahkan kafir. Begitu pula dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ini, juga mendapatkan julukan kafir dari mereka karena telah menjadikan Pancasila sebagai undang-undang negara bukan dengan Syariat Islam.
      Sebelum mengomentari pernyataan Hizbu Tahrir di atas, apakah betul atau salah,  barangkali kita perlu menelisik kembali maksud ketiga ayat tersebut dari kacamata para mufasir yang memang memiliki otoritas untuk memahami ayat Al-Quran secara komprehensif. bukan dari kacamata golongan tertentu atau bahkan menurut pendapat individu. Karena bagaimanapun juga, persoalan wajib-tidaknya mendirikan Syariah Islam tetap bersumber dari Al Qur'an dan hadis. Maka mau tidak mau, menelaah kembali ayat-ayat yang berkaitan denganya menjadi suatu keharusan, dan menjadikan para mufasir sebagai tempat rujukan untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut adalah jalan paling tepat dalam meminimalisir
   Dan salah satu mufasir yang layak menjadi rujukan dalam persoalan ini adalah Al-Qurthubi (w. 671H). Ya, mufasir satu ini memang terkenal dengan pengetahuanya yang luas tentang kitab  al-Qur'an, terutama terkait dengan hukum-hukum Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan satu karyanya yakni Tafsir Al-Jami' Li Ahkam Al-Quran yang secara konten memang lebih banyak menitikkan beratkan pada pembahasan hukum-hukum keislaman. Maka tidak keliru bila penulis merujuk kepada beliau untuk memahami ketiga ayat yang dinilai sebagai hujah kewajiban mendirikan Syariah Islam. Jika demikian, lalu pendapat beliau tentang ayat itu: apakah beku juga sependapat dengan Hizbu Tahrir di atas, ataukah malah berbeda dengannya, atau justru di pihak yang netral?. Untuk lebih jelasnya, yukk kita simak penjelasan berikut ini!!

Dalam pandangan al-Qurthubi, ayat ini dan dua ayat setelahnya (45 dan 47) hanya diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir saja. Beliau tidak sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa ketiga ayat tersebut berlaku umum (general), baik untuk kalangan kaum Muslimin, Yahudi maupun orang Kafir itu sendiri. Pernyataan beliau ini didsarkan atas riwayat Shahih Muslim dari hadist al-Barra yang menjustivikasi hal tersebut. Dari sini maka bisa dipahami bahwa nampaknya beliau termasuk golongan ulama yang berpaham “al-‘ibratu bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-alfzi (yang dianggap itu kekhususan sebab bukan keumuman lafalnya), bukan bagian dati pengikut paham (al-‘ibratu bi ‘umum al-lafzi la bi khusus al-sabab (yang dianggap itu keumuman lafalz bukan kekhususan sebabnya).” Karena pemahaman ini lah, maka wajar bila kemudian al-Qurthubi menyatakan bahwa orang Muslim tidak disebut kafir sekalipun ia melakukan dosa besar. Sebab konteks ayat ini hanya dikhususkan bagi orang kafir saja.
            Dengan demikian, bila mengikuti pendapat beliau ini, maka secara otomatis gugurlah pendapat Hizbu Tahrir yang menyatakan bahwa memutuskan dengan Syariat Islam dalam segala bidang hukumnya wajib tanpa terkecuali. Atau lebih sempitnya lagi, bahwa umat Muslim di Indonesia atau bahkan di seluruh dunia yang saat ini tidak sepenuhnya menjalankan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara misalnya, melainkan menjadikan udang-udang negara setempat sebagai putusannya, itu tidak disebut Kafir. Sebab konteks ketiga ayat di atas hanya berlaku bagi kaum Kafir saat itu bukan untuk saat ini. Dengan kata lain, ketiga ayat tersebut ----bila merujuk pernyataan al-Qurthubi di atas--- adalah termasuk al-ayat al-khabariyah (ayat berita) bukan ayatul ahkam (ayat hukum) yang harus dilakukan secara mutlak. Sehingga kedudukan ketiga ayat tersebut hanya sebatas sebagai informasi sekaligus ibrah saja bagi kaum sesudahnya tentang kaum kafir yang seperti itu. []




Comments