Beda Maqamnya, Beda Tingkat Keburukannya


Beda Maqamnya, Beda Tingkat Keburukannya


Secara sekilas, judul di atas barangkali sangatlah membingungkan dan tak tepat. Tapi itulah yang ada sebagaimana yang saya "adopsi" dari perkataan sebagai ahli hikmah dalam kitab Nashaih al-'Ibad halaman 27. Dimana mereka mengatakan bahwa ada empat perkara yang jelek bagi seseorang, namun akan lebih jelek lagi dan tak pantas bila dilakukan seseorang lainnya yang berbeda derajat. Keempat perkara tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, seorang pemuda berbuat dosa itu adalah hal yang buruk, namun lebih buruk lagi jika orang tua yang melakukannya. Kenapa? karena derajat meraka berbeda. Semestinya orang tua yang lebih banyak pengalamannya dan lebih dulu dilahirkan, harus lebih taat dan patuh akan aturan Tuhan. Sebab mereka sudah terlilit oleh umur yang terus bertambah dan tak lama.
Artinya, kebanyakan tingkat kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bertobat kepada-Nya, sering terjadi dan lebih banyak yang muncul dari para orang tua yang sepuh ketimbang anak-anak muda. Sehingga jika mereka para orang tua, dengan umur yang dimilikinya, ternyata malah masih senang melakukan dosa dan kemaksiatan, maka mereka lebih buruk ketimbang para muda-mudi itu. Kendatipun demikian, bukan berarti dosa para pemuda itu baik dan dibenarkan. Sekali lagi tidak. Karena baik dosa dari orang muda maupun orang tua semuanya buruk, hanya saja secara tingkat keburukannya, lebih tinggi dosa yang dilakukan oleh para orang tua.
Kedua, sibuknya orang bodoh terhadap dunia itu jelek namun akan lebih jelek, bila itu orang alim yang melakukannya. Kenapa? lagi-lagi karena derajat meraka berdua berbeda. Yang satu rendah yang satunya tinggi. Kegandrungan seorang yang bodoh kepada dunia sehingga menyibukkannya dari ketaatan karena Allah itu tidak seburuk dari kegandrungan orang alim terhadap dunia. Karena ketidaktahuannya orang yang bodoh sehingga ia amat tergiur dengan kemewahan dunia, hingga ia tak mengetahui bahwa sebenarnya kenikmatan dunia tersebut hanya sesat dan bisa menjadi malapetaka bahkan laknat bagi dirinya, itu tidak seburuk orang yang alim, yang jelas-jelas mengerti bahwa dunia adalah hal yang fana dan fatamorgana sesaat, namun kemudian malah terkecoh dengan bujuk rayu fatamorgana itu sehingga ia disibukkan hanya mengurusi dunia, sementara akhiratnya terbengkalai.
Ketiga, manusia yang bermalas-malasan untuk melakukan ketaatan kepada Allah itu adalah perkara yang buruk, namun lebih buruk lagi jika para ulama dan pelajar yang melakukannya. Kita tahu bahwa salah satu pola seorang hamba dalam beribadah adalah ada yang bermalas-malasan. Dan kita akui bahwa itu adalah hal yang buruk. Namun apa jadinya jika yang bermalas-malasan itu justru para ulama dan pelajar yang mengerti hukum agama?. Apa jadi jika jika meraka enggan berbuat ketaatan, padahal mereka sadar itu adalah sebuah kewajiban? dan apa jadinya jika mereka masih tak acuh untuk menunaikan perintah Allah, padahal mereka meyakini bahwa balasan yang mengingkarinya amat menyedihkan?, tentu jawabannya amat memalukan dan memilukan. Begitu buruk untuk dilakukan dan begitu keji bagi seorang ulama dan para pendidik. Oleh karena itulah, mereka disebut lebih buruk dari kebanyakan manusia.

Keempat, sombongnya orang kaya itu buruk, namun lebih buruk lagi orang miskin yang sombong. Ini adalah perbandingan antara dua hal yang amat berbeda dan jauh derajatnya. Secara logika, barangkali wajar bila orang kaya menyombongkan kekayaannya, memamerkan kemewahannya, karena mereka memiliki sesuatu yang untuk sombongkan kepada orang lain, namun dengan orang miskin, apa yang disombongkan dan dibangga-banggakan dari dirinya?, lah wong dirinya saja tak memiliki apa-apa. Karena hal inilah, sombongnya orang miskin itu lebih buruk ketimbang orang kaya. Kendatipun demikian, bukan berarti orang kaya boleh bersikap takabur. Sekali lagi bukan. Melainkan, tetap dilarang dan suatu kekejian bila mereka melakukannya.[]

Comments