Eksistensi
Kebaikan dalam Amaliah
Ali
RA. berkata: "tidak ada kebaikan dalam shalat yang tidak dibarengi dengan khusyuk, tidak ada kebaikan
dalam puasa selagi belum mencegah dari kata-kata-kata kotor dan syahwat, tidak
ada kebaikan dalam membaca al-Qur'an yang tak merenununginya, tidak ada
kebaikan dalam ilmu yang tak dibarengi dengan sifat wara', tidak ada kebaikan
dalam harta benda yang tak dihiasi dengan sifat pemurah, tidak ada kebaikan
bagi seorang saudara perempuan yang tak bisa menjaga (dirinya), tidak ada
kebaikan dalam nikmat yang tak syukuri dan tak ada kebaikan dalam doa yang tak
ikhlas."
Perkataan
sahabat Ali ini sebenarnya tengah mengingatkan kita bahwa setiap amal atau pekerjaan
itu selalu memuat eksistensi kebaikan
di dalamnya. Dimana ketika eksistensi kebaikan tersebut tidak sampai tersentuh,
maka amaliah itu sepertinya tidak sempurna bahkan bisa jadi hanya sebatas "simbol
ibadah saja". Sebab yang menjadi tujuan utama adalah tersentuhnya
eksistensi kebaikan itu sendiri.
Dalam
perkataan Sahabat Ali di atas, dapat kita perhatikan satu-persatu. Pertama
shalat. Kita tahu bahwa shalat adalah tiang agama dan satu-satunya ibadah yang
pertama kalinya di hisab dan juga sebagai penentu dari ibadah-ibadah lain. Oleh
karena itu, wajar bila hakikat dan eksistensi kebaikan dari ibadah yang satu
ini adalah khusyuk. Ya, khusyuk merupakan inti dari shalat. Betapun banyak shalatnya,
namun tak disertai dengan kekhusyukan, barangkali ia hanya sebatas ibadah dzahir
saja. Dalam satu hadist disebutkan : "shalat itu tak bisa diterima, kecuali
yang terpikirkan (baca: khusyuk) di dalamnya."
Selanjutnya
puasa, ia juga bisa hilang eksistensi kebaikan di dalamnya yakni ketika ia dinodai
dengan hal-hal yang merusaknya. Merusak dalam arti, hal yang membatalkannya seperti
makan dan muntah dengan sengaja maupun merusak dalam arti membatalkan pahala
puasanya seperti ghibah, marah dan dengki. Oleh karena itu, barangkali tepat
apa yang dikatakan oleh Nabi bahwa “Berapa banyak orang berpuasa yang tidak
mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah). Oleh karena
itu, puasa tidak hanya sebatas menahan makan dan minum tapi lebih dari itu,
yakni menahan nafsu dan hal-hal yang bisa melupakan Allah. Sebagimana dalam hadits
disebutkan: “Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makanan dan
minuman, tetapi puasa adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata
kotor.” (HR. Ibn Khuzaimah).
Setelah
puasa, kemudian membaca al-Qur'an yang tak dibarengi dengan tadabur juga bisa
menghilangkan eksistensi kebaikanal-Qur'an itu sendiri?. kenapa, sebab membaca
dan mentadaburinya memiliki tingkat yang berbeda. Dan memang betul, membaca al-Qur'an
adalah ibadah yang fadhlilahnya sangat mulia. Namun apa jadinya, jika lantunan-lantunan
ayat-ayat suci itu hanya basah di bibir, bukan basah di hati dikarenakan tidak
meresapinya. Padahal "hidayah dan kukuatan i'jaz al-Qur'an", akan
semakin terasa ketika kita serius mentadaburi kalimat demi kalimat, makna demi maknanya
bahkan kaku perlu sampai menangis.
Jika
hanya sebatas di mulut, lalu apa bedanya dengan orang-orang munafik, atau orang
khawarij. Dimana mereka terkenal sebagai umat yang paling rajin membaca
al-Qur'an siang dan malam, namun bacaanya hanya sampai di kerongkongan setelah
itu lepas seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Hati mereka tertutup dan keras. Maka, tatkala tidak dibarengi
dengan perenungan dan penghayatan, kemungkinan besar bisa menjadikan hati
kerasa dan kering akan nasihat. Dan lebih bahayanya, ia akan tertutup rapat
hingga enggan untuk menerima kebenaran dari siapapun. Maka dalam al-Qur'an denfan
tegas dijelaskan: “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad:
24).
Eksistensi
kebaikan juga bisa sirna dalam ilmu yang tak disertai Dengan sifat wara'. Wara'
seringkali diartikan dengan sikap kehati-hatian dalam menjaga diri dari perkara
yang haram apa lagi ragu atau syubhat. Jika demikian artinya, maka ketika
seorang yang memiliki ilmu namun tidak dengan dibarengi dengan proteksi diri
dari keharaman, ia mudah sekali memakan barang yang bukan haknya, semua cara ia
lakukan yang penting tujuannya tercapai,
dengan alasan dan berkedok ilmu semua maka ilmu yang dimilikinya tidak membawa
ke jalan kebenaran. Padahal kita tahu, bahwa ilmu adalah hidayah itu sendiri. Dati
sini dapat disimpulkan bahwa antara ilmu dan sifat wara' adalah dua hal
berbeda. Keduanya harus berjalan semuanya.
Tidak
hanya ilmu, harta pun bisa sirna eksistensi kebaikan di dalamnya. Yakni ketika ia tidak ditasarufkkan.
Sebab inti dari keberadaan kekayaan dan nikmat harta yang kita miliki adalah sedekah
dan infak itu sendiri. Jika bukan sedekah, dengan apa lagi kita menyatakan terima
kasih kepada pemberi nikmat itu?. Jika bukan dengan murah hati, dengan apa lagi
kita mensyukuri yang kita miliki? . Dalam al-Qur'an dengan jelas disebutkan: "semua
nikmat itu dari Allah".
Seorang
perempuan adalah harta terbaik dunia. Ia adalah perhiasan bagi lelaki, yakni,
jika ia memang bisa menjaga harga dirinya kehormatannya, baik untuk keluarganya,
suaminya, maupun agamanya. Ia tahu betul apa yang menjadi haknya ketika di dalam
keluarga, ia mengerti apa yang yang menjadi kewajibannya ketika bersama suami dan
sadar diri akan perintah agama. Yang demikian ini adalah eksistensi kebaikan dalam
diri perempuan.
Dan
terakhir adalah doa yang tak disertai dengan keikhlasan juga bisa menghilangkan
eksistensi kebaikan itu sendiri. Betapa tidak? doa yang semestinya ditunjukkan hanya
kepada Allah semata, malah menyertainya dengan embel-embel lain di dalamnya.
Bagaimana doa itu bisa disebut ikhlas dan Rido, kenyataannya masih belum yakin
dan percaya dengan apa yang didoakan itu?. Ikhlas adalah murni dan beesih. Doa
yang ikhlas berarti permibtana yang benar-benar bersih dari rasa sombong maupun
Riya, dan murni benar-benar dari ketulusan hati. Jika demikian yang dilakukan, insyaallah
Allah berkenan menjawabb permibtana kita itu. []
Comments
Post a Comment