Ketika
Keimanan Hanya Sebatas Orasi
Satu
hal yang sangat membahayakan bagi seseorang adalah ketika ia mudah
mengaku-ngaku, namun kering akan perilaku. Mudah ber-orasi, tapi tak pernah
ber-aksi. Dan mudah bicara, namun perbuatanya berbeda. Begitu juga dalam
masalah keimanaan. Bahwa ada orang yang "berwajah" demikian. Artinya,
mereka mengaku bahwa dirinya sudah beriman, namun ternyata pengakuan tersebut
tak sampai terwujud dalam perilaku. Hanya sebatas kata-kata "manis"
di lidahnya. Sehingga, persoalan keimanan, cukup hanya diucapkan saja,
selebihnya urusan masing-masing.
Atau
dengan ungkapan lain: katanya sih iman, namun shalat saja masih bolong-bolong.
Katanya sih iman, tapi membaca Al-Qur'an pun tak pernah. Katanya sih iman, tapi
sama tetangga masih seorang menyakiti. Dan katanya sih iman, tapi ucapannya
masih kasar dan merendahkan orang lain. Ini semua adalah contoh kecil dari
fenomena masyarakat kita yang menganggap dirinya sudah beriman, namun
sebenarnya mereka jauh dari iman itu sendiri. Maka tepat sekali apa yang
dikatakan oleh Allah dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 8 berikut ini:: "dan sebagian dari manusia ada yang berucap:
Aku beriman kepada Allah dan kepada Hari akhir, namun (sebenarnya) mereka
bukanlah orang-orang yang beriman".
Jika
demikian, lalu seperti apakah keimanan itu yang sebenarnya, kalau memang
pengakuan di lidah belum dikatakan sebagai iman?. Keimanan yang benar adalah
ketika hati, lisan, dan gerakan sama-sama menyatakan pembenaran atas yang
diimaninya. Yakni membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan
mengaplikasikan dalam tindakan. Sehingga orang benar-benar iman kepada
al-Qur'an misalnya, berarti ia akan membenarkan di dalam hatinya bahwa
al-Qur'an adalah Wahyu Tuhan yang abadi, yang tak pernah bisa ditandingi, dan
tak akan pernah cacat. Lalu mengikararkan pembenarannya itu dengan lisan, dan
terakhir megaplikasikanya lewat tindakan yakni dengan cara membacanya,
merenunginya dan menghafalnya secara istiqomah. Demikianlah iman yang
sebenarnya.
Lebih
dari itu, bila kita merujuk kepada Hadist-hadits Nabi, di sana disebutkan bahwa
ada beberapa indikator yang menyebabkan seseorang masih "belum dianggap
beriman", padahal sudah mengucapkannya di lisan. Indikator yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Pertama,
tidak menyayangi saudara. Ini sebagaimana sabda Nabi yang mengatakan: "salah
satu di antara kalian tidak (dikatakan) beriman kepada Allah dan hari akhir,
sebelum ia bisa mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya
sendiri." Artinya, seseorang yang menggebu-gebu mengakui bahwa dirinya
telah beriman kepada Allah, namun kepada tetangganya, saudaranya maupun
kerabatnya masih bertindak kasar. Acuh tak acuh atau malah memutus silaturahim
dengannya, maka sebenarnya ia jauh dari kata iman. Mengapa demikian?. Sebab
secara tidak langsung, ia telah melanggar perintah Allah berupa anjuran untuk
berbut baik, berbalas kasih kepada tetangga dan saudaranya (Qs. al-Isra'[]:
26). Sehingga wajar, bila pengakuannya itu sama sekali berpengaruh.
Kedua,
tidak menghormati tamu. Ini persis seperti yang disampaikan oleh Nabi, bawah
beliau bersabda: "barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaknya hormatilah tamunya!." Betul, menghormati adalah satu sunah
Nabi sangat dianjurkan. Bukan karena memang ada slogan "tamu adalah
seorang raja, maka wajib dihormati", melainkan memang karena tamu
merupakan wasilah kita untuk menarik rezeki. Memperpanng umur dan merekatkan
tali persaudaraan. Maka bila kemudian ternyata kita tidak menghormatinya, tidak
menampilkan sopan santun dan jamuan yang terbaik untuknya, tentu
wasilah-wasilah yang diharapkan tersebut akan sirna. Lebih dari itu, dengan
datangnya tamu di rumah kita, berarti juga sebagai tempat
"pembuktian" terhadap jiwa
sosial kita sendiri: apakah tinggi ataukah sama sekali tidak memilikinya. Oleh
karena itulah, kemudian Nabi mengaitkan tolak ukur keimanan seseorang dengan seberapa besar pemuliannya kepada
seorang tamu. Bila tidak menampilkannya, maka keimanannya barangkali masih
perlu dikoreksi kembali.
Ketiga,
memutus silaturahmi. Ya, memutus tali silaturahmi juga bagian dari indikator
dalam menilai keimanan seseorang. Bagaimana tidak?, Saudara kita baik yang
dekat maupun yang jauh, tetangga kita, kerabat kita bahkan seluruh umat manusia
semuanya adalah sama-sama makhluk Tuhan dan mereka adalah sudara kita, lalu
kemudian kita memutus persaudaraan itu karena suatu masalah. Kemudian kita membencinya,
tak saling sapa, berseteru bahkan menganiaya mereka. Bukankah ini satu tindakan
yang jauh dari nilai-nilai keimanan?. Maka tepat sekali bila Nabi bersabda:
"barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambung lah
tali silaturahmi." Artinya, bila seseorang justru berbuat sebaliknya,
yakni memutuskan tali silaturahmi, maka ia belum pantas menyandang gelar sebagai
"orang yang beriman". Oleh karena itulah, kemudian Allah mengingatkan
kepada kita supaya kita selalu teguh di jalan-Nya dan tidak mudah membuat
perseliiha dengan sesama, karena masing-masing dari kita adalah saudara yang
sama-sama memiliki hak untuk dihormati dan mendapatkan kasih sayang (Qs. Ali
Imran[]: 103). Lebih dari itu, memutus silaturahim berarti sama saja
menjerumuskan diri ke dalam Neraka, sebagaimana sabda Rasulullah bahwa
"tidak akan masuk surga orang telah memutus tali silaturahmi".
Na'udzubillah.
Keempat,
berkata kotor, kasar dan suka berbohong. Betul, bahwa orang yang mudah
mengeluarkan kata-kata kotor, kasar dan pandai bersilat lidah alias berbohong
kepada karibnya, adalah indikator bahwa keimanan yang pernah diakuinya perlu
dicek kembali. Bahkan pantas juga bila
kemudian ia dicap sebagai orang-orang yang tidak beriman. Mengapa demikian?.
Karena tolak ukur keimanaan seseorang itu ditunjukkan oleh pengontrolan lidah
dan mulutnya: apakah yang dikeluarkan berupa kelembutan, ilmu dan hikmah, ataukah
berupa kebencian, gosip dan gunjingan kepada orang lain?. Oleh karena itu, Nabi
memperingatkan kita supaya selalu berkata baik lagi Jujur, namun bila tidak
bisa, lebih baik diam. Karena perkataan yang kotor lagi tak berguna adalah
tanda hilangnya iman dari jiwa seseorang. Dalam hal ini beliau bersabda:
"barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkata lah
yang baik-baik saja, (bila tidak bisa), maka diamlah". Dalam Al-Qur'an
juga disebutkan bahwa ucapan yang baik adalah indikator bahwa seseorang itu
layak diberi gelar orang beriman. Dalam hal ini Allah berfirman: " wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkan lah perkataan
yang elok lagi lurus". (Qs. Al-Ahzab[]: 70). Dengan kata lain, orang yang
mengaku beriman berarti ia harus patuh kepada Tuhannya dan baik bicaranya, bila
tidak ia belum layak disebut orang beriman. Na'udzubillah.
Alhasil,
keimanan bukan hanya sebatas orasi belaka. Namun harus ditunaikan dalam bentuk
aksi dan karya. Yang kemudian dibarengi dengan kemantapan hati terhadap perkara
yang diimani tersebut. Karena semantap apapun ia berikrar iman kepada Allah,
namun tindakannya justru menentang seruan-Nya. Dan sesemangat apapun orasinya
untuk beriman kepada Allah, namun ia acuh tak acuh kepada saudaranya,
meremehkan tamunya, memutus tali persaudaraanya dan kotor bicaranya, maka
keimanaan itu hanya sebatas simbol yang tak berguna dan bahkan sirna tak
membekas. Na'udzubillah. Semoga kita dijauhkan dari semua ini. Amin.[]
Comments
Post a Comment