3
Penyebab Pecahnya Umat Islam
Akhir-akhir
ini, kita sering kali menyaksikan pelbagai macam konflik, perseteruan bahkan
pembunuhan di antara umat muslim. Dan ironisnya lagi, pelaku dari ini semua
adalah mereka yang mengaku-ngaku atas nama agama dan diperitahkan oleh
al-Qur'an. Oleh karena itu, seakan-akan Islam sudah menjadi 'bahan permainan'
oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Dan umat islam sendiri telah dijadikan
sebagai "sasaran empuk" dari ganasnya konflik-konflik tersebut.
Sehingga pada akhirnya, Islam dan pemeluknya lah yang menjadi korban; Islam
dipandang sebagai agama penuh konflik dan kekerasan. Sementara Muslimnya
dinilai sebagai makhluk yang intoleran,
sinis dan mudah tersinggung.
Padahal
kita tahu bahkan mereka pun juga mengetahui bahwa Islam sendiri melarang
umatnya untuk terpecah belah, berseteru apalagi saling membunuh (Qs. Ali
-Imran[3]: 103). Mereka paham betul bahwa Islam mengajarkan perdamaian,
toleransi dan kasih sayang. Mereka sadar bahwa selagi masih sesama muslim,
siapapun adalah saudara dan itu wajib dihormati dan dilindungi. Namun
kenyataannya yang terjadi pada hari ini berbeda. Justru mereka melanggar dan
menyalahi kesadaran mereka itu sendiri. Bukankah ini satu "intrik
politik" yang membahayakan?. Bukankah ini satu "kebohongan"
perlu diwaspadai?. Kalau bukan karena ada 'kepentingan dan motif"
terselubung, tentu mereka tak akan berani melakukan hal tersebut.
Terlepas
dari itu semua, sebenarnya ada beberapa penyebab yang memicu terjadinya
perpecahan di tengah-tengah umat muslim tersebut. Setidaknya ada tiga penyebab,
yakni sebagai berikut:
Pertama,
kebodohan. Ya, kebodohan adalah satu faktor yang sangat rentan menimbulkan
perpecahan. Bagaimana tidak, gara-gara ketidaktahuan seseorang terhadap
sesuatu, satu orang dengan lainnya bisa saling cek-cok. Masing-masing
menggangap dirinya benar. Atau menuduh yang lain salah, sementara dirinya
sendiri paling benar dan pantas. Satu contoh kecil perpecahan yang terjadi
akibat kebodohan ini adalah seperti seorang imam yang melakukan sujud tilawah,
sementara ada jamaah yang menilainya sebagai suatu 'keanehan' dalam shalat atau
bahkan menyesatkan. Karena memang yang ia tahu shalat tidaklah demikian, yakni
melakukan sujud di tengah-tengah masih dalam kondisi berdiri (saat membaca
surat). Menurutnya, ini adalah kesesatan. Akhirnya, saat itu juga ia akan
menuduh si imam tersebut, shalanya batal, ajarannya sesat dan lain sebagainya.
Dan saat itu pula, perseteruan tak bisa dielakkan. Ini adalah salah satu contoh
betapa dahsyatnya kebodohan dalam menimbulkan sebuah konflik antar sesama.
Oleh
sebab itulah, Allah melarang kita untuk tidak gegabah dalam menilai atau
memutuskan sesuatu. Bukan dengan hawa nafsu, melainkan harus didasari dengan
ilmu (Qs. al-Isra' [15]: 36). Kalau memang orang lain salah, jangan serta merta
langsung memvonisnya sesat. Melainkan
harus mengedepankan etika, yakni tetap melakukan tabayun (cross cek)
terlebih dahulu terhadap pihak terkait: seperti apa yang sebenarnya terjadi.
Supaya tidak menjadi percekcokan yang berkepanjangan (Qs. Al-Hujurat []: 6). Sehingga
dalam kondisi apapun, ilmu adalah segalanya. Tidak ada yang bisa menjamin kebenaran
atau kelirunya seseorang, kecuali dengan tolak ukur keilmuan. Dan tidak ada yang
bisa menjadikan seorang anak Adam berperadaban serta beretika kecuali sebab
ilmu yang dimilikinya. Maka betul sekali apa yang disabdakan oleh Rasulullah: "seandainya
tidak ada ilmu, mesti lah manusia akan bertingkah seperti hewan".
Kedua,
tidak menerima perbedaan. Disamping karena kebodohan seseorang, konflik antar
sesama muslim juga terjadi karena masing-masing dari mereka masih ada yang tidak
mau menerima perbedaan. Baik perbedaan pandangan, cara berpikir, cara hidup maupun
cara beribadah. Artinya, setiap insan akan lebih mudah terpancing untuk
menyalahkan orang lain yang "berbeda" dengan dirinya. Sehingga wajar,
bila kemudian adu mulut pun terjadi, bahkan sanpai saling menyesatkan satu sama lain. Dikiranya, semua yang dilakukan orang lain, harus sama dengan
apa yang ia yakini dan ia amalkan. Padahal sudah jelas bahwa menyatukan perbedaan atau menyamaratakannya
menjadi satu persepsi adalah adalah suatu pemaksaan. Dan justru akan menyulut api
pertengkaran. Mengapa demikian? Sebab, perbedaan di tengah umat adalah sunnatulah;
ia adalah suatu kewajaran, dan Allah sendiri yang memang menghendaki demikian. Dengan
kata lain, menyeragamkan perbedaan tersebut menjadi satu persamaan merupakan
suatu yang mustahil, sebab nyatanya manusia memang sudah diciptakan dan akan
lebih cenderung berselisih antara satu dengan yang lainnya (Qs. Yusuf []: 118).
Contoh misalnya, persoalan Qunut Shubuh. Ya, masyarakat
kita sampai sekarang ini, masih terus bersilang pendapat dan ada yang tetap enggan
menerima perbedaan terkait amaliah satu ini. Masing-masing bersikukuh dengan
argumentasinya; satu menganggap bahwa yang melakukan Qunut Subuh adalah benar karena
memang diajarkan Nabi. Sementara yang lain menilai bahwa itu adalah kebida'ahan
(kreasi baru yang tidak ada legalitas dalam agama). Sehingga ia akan menyalahkan
pihak yang mengamalkannya. Maka pada akhirnya, kedua belah pihak pun terhanyut dalam
perseteruan, dan saling menjatuhkan satu sama lain.
Padahal Qunut Subuh adalah salah satu fenomena
perbedaan itu sendiri, dan agama mengakui hal itu. Buktinya, banyak hadis yang
menginformasikan bahwa Nabi setiap Shalat Shubuh sepanjang hayatnya tak pernah
meninggalkan Qunut. Dan ada pula riwayat yang menyatakan sebaliknya, bahwa Nabi
tidak mengamalkan Qunut ini sebagai rutinitas ibadahnya setiap Subuh. Sehinga
wajar bila kemudian para imam Mujtahid, pun bersilang pendapat terkait statusnya; ada
yang mengatakan sunah, sementara ada yang tidak, bahkan ada yang mengatakan makruh.
Semuanya memang didasarkan pada keterangan hadist-hadist Nabi. Dengan demikian,
persoalan Qunut atau tidak Qunut adalah persoalan perbedaan yang tak perlu diangkat
menjadi masalah yang serius. Yang terpenting, cukup menyikapinya dengan bijak yakni
tidak saling menyalahkan, menilai paling benar, dan menjatuhkan lawan gara-gara
perbedaan amaliah ini. Karena perbedaan tak perlu dilawan; yang berbeda tak
perlu disama-samakan dan yang sama tak perlu dibeda-bedakan. Maka tepat sekali
apa yang dikatakan Quraisy Shihab, bahwa dia menyatakan: "jangan kau
tanyakan 5 + 5 hasilnya berapa, tapi tanyakan lah, berapa tambah berapa yang
hasilnya 10?. Demikianlah lah cara Nabi mengajarkan tentang perbedaan."
Ketiga,
fanatisme buta. Faktor lain yang
menjadikan umat Islam ini terpecah belah adalah karena mereka terlalu fantastis
terhadap kelompok, persepsi atau pandangan yang diyakininya. Artinya, mereka terlalu
"over" dalam menilai pandangan atau keyakinannya sendiri. Misal, yang
NU menilai dirinya paling besar, yang Muhammadiyah juga demikian. Begitu pun yang
Salafie- Wahabi, juga tidak mau kalah, mereka bersikukuh bahwa kelompoknya lah yang benar dan lurus. Masing-masing
tidak membuka diri untuk melihat perbedaan, keanekaragaman, dan kebebasan pendapat
orang lain. Sehingga pada akhirnya, benih-benih kebencian, sinis dan inklusifme
pun tumbuh. Maka jangan salah bila kemudian perseteruan antar kelompok adalah hasil
anding-nya.
Apakah fantastis terhadap satu kelompok itu
sepenuhnya dilarang?. Tentu tidak. Justru sifat fantastis ini adalah suatu hal
yang lumrah dan bahkan (dalam kondisi tertentu) ia wajib dimiliki seseorang. Karena
memang itu merupakan konsekuensi bagi dirinya setelah berbaiat kepada kelompok yang
diyakininya dan hal itu juga sebagai upaya untuk menjaga eksistensi kelompok
itu sendiri. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah, ketika sikap fanatisme
ini sudah tidak bisa dikontrol lagi. Sehingga berubah menjadi sikap inklusifme,
yakni menutup diri dari orang lain, dan meyakini bahwa diri dan kelompoknya lah
yang paling benar. Inilah yang berbahaya. Sebab, sifat seperti ini akan sangat
mudah menimbulkan perselisihan dan perseteruan.
Kita
bisa menyaksikan bagaimana tegangnya perseteruan antara NU vs Muhamadiyah tentang
persoalan Qunut dan dzikir setelah shalat saat itu?. Kita juga melihat
bagaimana ganasnya perselisihan antara Wahabi vs tentang ziarah Kubur, tawasul,
tahlililan hingga sampai saat ini?. Kalau bukan karena sikap fanatisme yang buta,
tentu mereka tidak akan seperti itu. Oleh karena itulah, kini saatnya, kita buka
lebar-lebar mata dan wawasan kita, kita kontrol nafsu dan amarah kita. Jangan sampai
persetujuan ini terjadi lagi, jangan sampai sikap fanatisme ini menjadikan umat
Islam terpecah belah. Dan yang terpenting, bekali semua tindakan dan perkataan
kita dengan ilmu lalu disampaikan kepada yang lain dengan bijak, karena hanya dengan
cara inilah konflik bisa meredam dan perdamaian akan terwujud.
Demikianlah
tiga penyebab yang memicu pecahnya umat Islam saat ini. Ketiganya, baik
kebodohan, tidak mau menerima perbedaan, maupun fanatisme buta, masing-masing memiliki
pengaruh luar biasa dalam mensugesti seseorang atau kelompok untuk mudah
terpancing berselisih dan berseteru antara satu dengan lainnya Oleh karena itu,
ketiga-tiganya harus disingkirkan dari jiwa unta muslim. Umat Islam harus berilmu
dan berwawasan luas. Umat Islam harus lebih mengerti dengan keanekaragaman
masyarakat. Umat Islam harus lebih 'lentur" dalam berkelompok. Umat Islam
harus mengedepankan kasih sayang, toleransi dan saling menghormati antar
sesama. Hany ini lah yang bisa menciptakan sekaligus yang bisa mencegah
terjadinya perpecahan di tengah umat saat ini dan nanti. []
Kendari,
26 Juli 2017.
Comments
Post a Comment