Bendera Terbalik; Antara Emosi dan Etika


Bendera Terbalik; Antara Emosi dan Etika


Baru-baru ini, media sosial baik online maupun cetak, sedang hangat membicarakn satu insiden bendera Indonesia yang tercetak terbalik dalam buku panduan SEA GAMES Malaysia 2017. Insiden ini, telah memicu pelbagai reaktif dari masyarakat Indonesia. Ada yang geram, sinis dan menganggap sebagai penghinaan. Sementara ada pula yang memakluminya dan tak perlu diusut lebih dalam lagi. Jokowi misalnya, sebagaimana dikutip dari Tirto.id, justru memaklumi insiden ini. Karena pihak panita Malaysia yang khilaf dan tidak sengaja. Namun demikian, Pak Presiden juga meminta agar pihak terkait untuk meminta maaf secara resmi. Karena ini menyangkut simbol dan kewibawaan negara.
Senada dengan itu, sebagaimana yang dilansir dari suarasurabaya.net, Jendral TNI Agum Gumelar juga menyatakan bahwa tidak harus berlebihan menyikapi insiden bendera terbaik ini, apalagi sampai harus menyatakan perang dengan Malaysia. "Itu sudah betul langkahnya, kita mau apa? Apa terus mau menyatakan perang, ah... itu terlalu berlebihan," Tegas Agum Gumelar. Akan tetapi, bagi masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur tersulut emosi dan sudah geram dengan 'tingkah' negara Jiran ini sejak dulu (dengan pelbagai konflik-konflik bilateralnya), justru terus menyalahkan dan membalas dengan perbuatan serupa. Contoh  misalnya, seperti tindakan seorang pengendara mobil di Solo yang mengibarkan Bendera Malaysia dengan terbalik juga. Atau pembakaran bendara Malaysia oleh seorang pemuda di Medan, yang membuat pihak Malaysia pun ikut mengecam. Belum lagi tingkah sekelompok hackers Indonesia yang telah meretas situs malaisia yakni www.kualalumpur.com dengan membuat 'meme-meme' sebagai bentuk 'balas dendam dan serangan balik' atas ulah Malaysia yang dianggap ngawur itu.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada beberapa hal perlu dipahami dari insiden ini, supaya kedepannya, tidak menjadi konflik yang berkepanjangan dan tidak menjadi 'luka' bagi Indonesia yang terus membekas. Pertama, memang betul, bendera adalah simbol negara yang mesti dijunjung tinggi. Namun, berkaitan dengan insiden terbaliknya bendera Indonesia ini, tak harus direspon dengan emosi apalagi sampai menyatakan perang. Karena dari pihak kementerian Sukan Malaisyia sudah meminta maaf secara rismi dan mengakui itu kekhilafan panitia. Bahkan, Jokowi dan Mempora, Imam Nahrawi, juga tidak menganggapnya dengan serius. Jadi, bagi masyarakat Indonesia tak perlu "tersulut emosi' apalagi sampai balas dendam kepada Malaisyia. Bukankah kita diminta untuk memafkankan orang lain, sebagai tanda bahwa kita adalah orang bertakwa (Qs. al-Baqarah []133) ?.
Kedua, tindakan beberapa oknum masyarakat yang merasa kesal sehingga kemudian membalas dengan tindakan serupa bahkan sampai membakar bendera Malaysia, adalah suatu kemarahan dan emosional yang berlebihan. Mengapa demikian?. Sebab tidak sepantasnya membalas seseorang yang telah khilaf berbuat aniaya sementara ia telah meminta maaf, dengan kedzaliman yang sama. Bukanlah lebih baik baik membalas air susu ketimbang air tuba?. Tidak hanya, itu, tindakan aniaya yang disebabkan karena khilaf atau tidaksengajaan sebagaimana yang dilakukan oleh pihak Malaysia tersebut, bila ditinjau dalam kacamata hukum Islam, itu (sebenarnya) tidak memberikan efek dan sanksi bagi pelakunya. Hal demikian seperti kasus orang yang lupa minum di siang harinya, sementara ia tengah berpuasa, maka ia tak dianggap batal. Bagitu juga dalam kasus bendera terbalik ini. Maka, jika tidak mau dianggap suatu kewajaran, ya setidaknya mau memaklumi bahwa mereka khilaf dan sudah meminta maaf. 

Ketiga, jika Malaisyia yang selalu saja disalahkan gara-gara insiden ini, sementara dengan bangga, masyarakat Indonesia tetap menganggap dirinya benar, barangkali ini suatu tindakan egoisme yang perlu diluruskan. Mengapa demikian?. Sebab, pada kenyataannya, reaksi Indonesia atas 'ulah dan tindakan' Malaisyia yang dianggap ngawur justeru lebih over bahkan dibilang anarkis dari mereka. Sebut saja misalnya, oknum indonesia yang membakar bendera Malaysia, padahal Malaisyia hanya keliru menempatkan warna bendera merah putih saja, itu pun karena khilaf bukan karena unsur kesengajaan. Belum lagi, ada ulah-ulah masyarakat Indonesia yang  lebih dulu 'menyulut emosi' mereka, seperti ulah para suporter Timnas Indonesia yang menyoraki Timnas lawan--- termasuk Malaysia ini---- saat lagi kebangsaan mereka dikumandangkan. Sekalipun tindakan suporter Timnas Indonesia ini dinilai sebagai bentuk penekanan mental lawan, supaya nge-down dan sehingga tidak fokus, namun sejatinya justru sangat memalukan---kalau tidak mau dibilang Munafik. Jika demikian, apa bedanya masyarakat Indonesia dengan mereka; yang sama-sama melakukan kesalahan lalu membalasnya dengan kesalahan yang sama atau bahkan lebih, dan mengembalikannya dengan 'serangan lebih anarkis?. Bukankah ini hal tindakan egoisme jika pada kenyataannya kita--sebagai warga Indonesia--- masih saja menganggap paling benar, sementara masih ada warga kita sendiri yang  seperti mereka bahkan lebih frontal dibandingkan mereka?.
 Keempat, di balik insiden ini, sebenarnya ada satu pelajaran yang perlu kita pahami bersama. Yakni, semestinya kita lebih mengedepankan etika ketimbang emosi. Artinya, bagi seluruh warga Indonesia, --yang dalam hal ini disebut sebagai 'korban-- sebaiknya tidak menonjolkan kemarahannya yang berlebihan; emosi boleh, namun jangan sampai berubah menjadi anarkhi dan kekerasan. Dan bagi pihak Malaysia, seharusnya lebih menghormati dan lebih teliti dalam mengembangkan tugas sebagai panitia Sea Games supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti insiden satu ini. Alhasil, kini saatnya kita tak perlu mencemooh, menyalahkan atau balasan dendam kepada mereka. Yang kita lakukan adalah saling mengerti dan saling meminta maaf. Bukankah kita dilarang mencemooh golongan lain, karena bisa jadi mereka justru lebih baik dari kita (Qs. Al-Hujurat []: 11). Intinya, kendalikan emosi, kedepankan etika dan stop anarkhis, itulah langkah kita untuk menciptakan perdamaian dengan kelompok bahkan negara lain.[]

Comments