Dunia Gelap Bila Tanpa Ulama


Dunia Gelap Bila Tanpa Ulama


Tidak dipungkiri bahwa hanya dengan ilmulah, derajat seseorang bisa terangkat di dunia hibgga di akhirat kelak. Bukan dengan harta apa lagi kedudukan. Karena ilmu adalah "perhiasan abadi" yang terus memancarkan keelokannya selama ia terus di amalkan oleh pemiliknya. "Belajarlah, karena Ilmu adalah perhiasan bagi pemiliknya" demikian katy sahabat Ali sebagaimana dikuti Al-Zarnuji dalam ta’lim-nya. Wahb bin Munabih dalam sebuah syairnya juga berkata:
"Hanya ilmulah yang bisa mengantarkan suatu kaum ke posisi kemulian. Dan pemilik ilmu akan terus terjaga dari kerusakan.
Wahai pemilik ilmu, waspada lah, jangan engkau nodai ilmu itu dengan kerusakan. Karena selain ilmu, tidak ada yang bisa menggantikan kedudukanya.
Ilmu itulah yang akan mengangkat suatu bangunan sekalipun tak memiliki tiang di dalamnya. Sedangkan kebodohan yang akan merobihakn bangunan keagungan dan kemuliaan itu"
Ialah petunjuk kebenaran yang sesungguhnya. Penyelamat dari jurang kesesatan dan kebatilan. Sedang harta dan kedudukan adalah "perhiasan temporal" yang setiap saat bisa lenyap begitu saja. Ia tidak lebih sekedar "fatamorgana" yang membuat orang terlena. Menggiurkan di mata, namun menggelisahkan di hati. Begitulah harta dan kedudukan, semakin dicari, semakin tak akan terpuaskan. Allah SWT berfirman: artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15).
 
Berkaitan dengan kemuliaan derajat orang berilmu ini, Allah SWT telah menyampaikan dalam firman-Nya: artinya: “Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu ke beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11).
Ayat di atas, dengan tegas menginformasikan bahwa Allah akan memberikan kabar gembira sekaligus janji yang amat agung bagi orang-orang yang dan yang berilmu yaitu mereka akan diangkat derajatnya. ketinggian derajat itu terus terpancar di dalam diri mereka. Baik ketika mereka di dunia mapun nanti di akhirat. Dalam Tafsir Munir karya Nawawi al-Bantani halaman 409 disebutkan bahwa makna ayat adalah allah SWT akan mengangkat derajat para ulama melebihi orang-orang yang beriman tapi tak berimu. Namun dengan syarat mereka tetap melakukan perintah-nya dengan benar alias mengamalkan ilmunya itu. Jadi, sekalipun sama-sama diberi kedudukan derajat di surga bersama orang mukmin, namun para ulama diunggulkan lebih dari para orang mukmin yang tak berilmu. Pernyataan ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dia berkata : "derajat para ulama itu di atas orang-orang mukmin dengan selisihnya sebanyak 700 derajat. Dimana jarak setiap dua derajat darinya itu seperti 500 tahun".
Tidak sampai di sini, kemulian derajat ulama ini pun masih terus mengalir kepada diri mereka hingga di hari kiamat. Dalam suatu riwayat, nabi SAW bersabda : 'kelak di hati kiamat jerih payah ulama dan darah para syuhada akan ditimbang lebih dahulu". Di riwayat lain juga disebutkan bahwa " ada tiga orang yang akan mendapatkan syafaat di hari kiamat yaitu: para nabi, ulama, dan para syuhada".
Sekali lagi, semua ini adalah bentuk apresiasi yang begitu besar kepada para ulama. Dan tentu apresiasi ini tidaklah berlebihan. Karena memang posisi mereka yang telah dimuliakan sejak awal. Pertama, sejak awal ulama disebut sebagai hamba yang telah diberi persaksian langsung dari Allah untuk keesaan-Nya. Tidak tanggung-tanggung, mereka (dalam hal ini) sampai disejajarkan dengan para malaikat. Allah berfirman: artinya:Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan) dengan penuh keadilan.” (Ali ‘Imran: 18).
Kedua, sejak pertama kalinya, ulama telah dispesialkan sebagai satu-satunya hamba yang takut kepada Allah. Artinya, hanya ulamalah yang dapat merasakan kawatir dan selalu taat kepada Allah, karena mereka mengenal-nya begitu dekat lewat pengetahuan yang telah dipelajarinya itu. Maka tidak bisa dikatakan sebagai ulama, jika dalam kenyataannya, ilmu yang telah diperolah malah justru untuk mencelakai dan merugikan orang lain, dan menjadikan dirinya jauh dari jalan Allah. Karena inilah, Allah kemudian berfirman: artinya: "sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28).
Ketiga, sejak awal ulama memang telah dinobatkan sebagai pewaris para nabi. Baik secara keilmuannya maupun amaliahnya. Dengan kata lain, bahwa intelektual, spiritual, dan mental mereka setidaknya adalah "cerminan" dari para nabi. Nabi bersabda : " ulama adalah pewaris para nabi". Karena ini, maka tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa mereka itu sejajar dengan derajat kenabian, hanya saja tidak diberi wahyu dan risalah. Ini sebagaimana yang disampaikan oleh Sufyan bin 'Uyainah bahwa beliau berkata : "tidak ada seorang pun di dunia ini yang diberi sesuatu yang lebih utama dari pada derajat kenabian. Dan tidak ada satu pun yang lebih mulia setelah derajat kenabian, dibandingkan ilmu dan pemahaman (agama)".
Dengan melihat kedudukan dan posisi ulama yang begitu tinggi ini, sudah semestinya seseorang bisa bersikap sopan dan berakhlak mulai kepadanya. Terlebih jika itu adalah seorang murid yang tengah mengharapkan ilmu darinya, tentu karater yang baik kepada ulama menjadi syarat mutlak untuk memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Namun dalam kenyataannya, ada beberapa pelajar yang bersikap sembrono kepada ulama bahkan hingga memusuhinya, hanya karena berseberangan dalam berpendapat. Karena itu, kemudian banyak ulama dihujat, dihina, dan diremehkah. Sangat berdosalah orang yang melakukan ini, bahkan bisa jadi ia menjadi Zindiq dan Nifaq. Na'udzubillah. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang menghina ulama sama artinya ia mengumumkan untuk berperang kepada allah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ – …رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.”

Lebih lanjut  Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- menyatakan: “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”. Oleh karena itu, hormatilah ulama. Jangan sampai mereka tersakiti, terhina, apalagi dibunuh. Karena darah mereka itu suci dan terlindungi. Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”
Demikianlah ulama. Dunia tanpa mereka akan gelap gulita. Merekalah penyinar bagi kegelapan itu, jika bukan kepada ulama, kepada siapa manusia harus mencari sinar petunjuk?. Berkaitan dengan ini Abu Muslim al-Khaulany ra berkata "ulama di bumi ini ibarat bintang-bintang di pangot. Jika binatang-bintang itu terlihat oleh manusia, maka mereka mendapatkan petunjuk (arah); dan jika binatang-bintang itu tersamar oleh manusia, maka mereka akan bingung".
Jika demikian adanya, lalu bagaimana sikap atau adab seseorang kepada ulama yang sebetulnya:apakah hanya sebatas menghormati lewat perkataan saja, ataukah dengan menyanjungnya, ataukah lebih dari itu?. Untuk menjawab permasalahan ini, mari kita tengok kembali apa yang telah dirumuskan oleh guru-guru kita, salah satunya adalah KH. Hasyim Asy'ari dalam kitabnya, Adab al-'Alim wa al-Muta'alim halaman 29-43; dimana di dalam kitab beliau tersebut, secara tuntas dijelaskan gambaran adab dan tatakrama kepada ulama hingga berjumlah 12 karakter. Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Seorang pendidik hendaknya memuliakan ulama dari segi pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Artinya ia mesti berkeyakinan bahwa ulama telah mencapai derajat yang sempurna. Tidak hanya itu, seseorang pun dilarang berbicara kepada ulama dengan kata sapaan tidak sopan (misalnya memakai bahasa Jawa Ngoko.) Maupun memanggilnya dengan nama aslinya. Yang benar adalah memanggilnya dengan sapaan " wahai guru, wahai ustadz dan lain sebagainya."
2. Berpikir positif (positive thinking) walau mereka menunjukkan sikap kasar. Yakni dengan memakai sikap kasar itu sengaja upaya mereka memperbaiki diri kita. Umpamanya jika ulama terlihat salah dimata kita, maka semestinya kita yang lebih dulu memaafkannya, mengaku salah, dan memohon keridhaan mereka. Sesungguhnya sikap yang demikian itu adalah bisa memunculkan rasa kasih sayang diantar kita dengan mereka.
3. Hendaknya mengetahui hak-hak  para ulama dan menunaikannya. Yakni dengan mendoakan mereka baik ketika masih hidup maupun sudah wafat. Memperhatikan anak-cucunya, keluarga maupun orang-orang yang dekat dan dikasihi mereka. Kemudian juga rajin berziarah ke maqamnya, tekun bersedekah kepadanya.
4. Memperhatikan tatakrama ketika hendak menemui mereka. Salah satunya adalah dengan mengucapkan salam kemudian mengetuk pintu secara perlahan-lahan. Kemudian masuk sengan kondisi yang sempurna, badan dan pakaian yang bersih kalau perlu wangi.
5.duduk dengan penuh tatakrama. Misalnya duduk bersimpuh di atas kedua lututnya: duduk layaknya duduk tasyahud namun tanpa meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut;atau duduk bersila dengan sikap tawadhu', tunduk tenang dan khidmat. Di samping itu, ketika masih berhadap-hadapan dengan ulama, seseorang dilarang meludah dan berdehem selagi memungkinkan;tidak membuang riak dari mulut, melainkan mengambilnya dengan sapu tangan. Jika bersin, usahakan lirihkan suaranya semaksimal mungkin dan menutup wajahnya dengan sapu tangan. Begitu juga ketika menguap, tutuplah dengan tangan.
6. Tidak menampilkan sikap secara terang-terangan jika tidak sependapat. Artinya, ia tidak boleh berkata: "mengapa demikian?", "Kami tidak setuju", "siapa yang memukul ini?", "dimana sumber rujukannya". Jika ia ingin mengatakan semua itu, maka sebaiknya bersikap pelan-pelan dan yang lebih utama adalah menanyakannya di majelis lain.
Demikianlah beberapa karakter dan adab kepada para ulama; baik adab perkataan, perbuatan atau perasaan. Inilah yang semestinya bisa menjadi hiasan dalam diri setiap Muslim. Karena muslim yang baik adalah muslim yang mengerti ilmu yang berkah dan manfaat. Amin.[ ]

Comments