Yang Bagus Belum Tentu Cocok
Dalam dunia pendidikan,
tinggi-rendahnya kompetensi seorang pelajar setidaknya ditentukan pada tiga
faktor yakni pengajarnya, bobot materinya dan metode pengajarannya. Namun dari
ketiga faktor ini, faktor yang paling akhir disebut (metode pengajaran) sering
dipahami sebagai inti sekaligus penentu utama dari keberhasilan seorang pelajar
itu sendiri. Maka kemudian ada sebuah jargon yang amat tenar mengatakan " الطريقه اهم من
المادة " ( metode itu lebih penting daripada materi).
Jargon di atas sebenarnya
hendak menyampaikan kepada kita bahwa sehebat apapun pengajarnya dan sekomplit
apapun materinya, namun ketika metode pengajarannya tidak tepat, maka isi
materi itu tak akan sampai dan dinikmati oleh anak didik. Bahkan bisa jadi ia
hanya akan menjadi sekedar informasi belaka yang cukup didengar melalui kuping
kanan dan keluar lewat kuping kiri. Tidak sampai membekas dalam hati dan
otaknya, apalagi berubah menjadi sebuah aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Yang dimaksud metode
pengajaran (al-Thariqah) di sini adalah cara atau teknik dalam
menyampaikan isi materi sehingga ia bisa diterima pada sasarannya yakni mukhatab.
Dan materi yang dikehendaki di sini bisa berupa ilmu pengetahuan, informasi,
berita, ide atau gagasan seseorang. Maka
jika cara penyampaiannya benar dan tepat, tentu ilmu atau informasi tersebut
bisa diserap dengan mudah dan langsung bisa diwujudkan dalam aksi nyata oleh si
penerimanya. Inilah maksud dari jargon di atas itu.
Berangkat dari semangat
yang digalakkan oleh jargon tersebut, maka dewasa ini, sistem pendidikan kita
khususnya pendidikan keislaman, agaknya
lebih banyak terkonsentrasi pada pembentukan metodologi pengajaran ketimbang
muatan materinya. Yakni bagaimana menciptakan teknik belajar-mengajar yang
efesien, efektif, dan mencerdaskan ketimbang memperkaya materi yang
berbelit-belit bahkan melebihi porsi, padahal semuanya itu banyak yang tidak
dimengerti oleh anak didik. Entah karena faktor pengajarnya yang kurang
kompeten, ataukah materinya terlalu membludak. Tapi yang jelas, teknik
pengajaran itulah terutama dari segi kurikulumnya yang kini mulai dibenahi.
Sebut saja misalnya dalam dunia sekolah, terdapat banyak metode dan kurikulum
yang beriringan tahun yang selalu berganti-ganti;mulai dari kurikulum GPPP
1994, KBK, KTSP, dan sekarang yang baru kurikulum 2013. Pergantian kurikulum
ini, tidak lain adalah bagian dari metode atau cara dalam menyampaikan materi
pelajaran kepada para siswa dengan sajian yang lebih simpel, padat, namun tidak
membosankan mereka. Sehinga setiap sub bab materi yang diajarkan, tidak sia-sia
karena bisa diikuti dengan mudah.
Tidak hanya dalam sekolah
formal saja, dalam sekolah informal pun seperti TPQ atau TPA juga mengalami hal
serupa, yakni terdapat berbagai pembaharuan dalam metode atau cara membaca
cepat Al-Quran. Sebut saja misalnya, baru-baru ini terdapat metode Iqra', Qiraati,
dan Tilawati. Ketiga metode ini disebut sebagai terobosan baru dalam
mengajak anak-anak untuk gemar membaca Al-Quran dengan mudah, cepat, praktis
dan berkualitas. Namun ketika ditanya mana yang paling tenar di kalangan
masyarakat?, tentu iqra' lah jawabannya. Hal tersebut karena beberapa
alasan. Pertama, penyajiannya yang simpel, sederhana tapi berbobot. Kedua,
bukunya sudah terjual bebas di toko-toko terdekat sehingga mudah bagi para masyarakat untuk memilikinya,
dan harganya pun terbilang relatif murah. Ketiga, tidak ada sertifikasi
guru bagi para calon pengajar dari pihak terkait. Jadi, siapapun yang sudah
dianggap paham tentang Ilmu Tajwid dan bacaannya pun baik, maka ia sudah
diperbolehkan mengajarkan buku metode iqra' ini. Dan keempat,
adalah karena adanya legalisasi resmi secara serentak dari KEMENAG untuk menggunakan
metode ini di seluruh lapisan masyarakat di Indonesia yakni sekitar tahun 1991,
tepat setelah metode ini diluncurkan oleh penemunya, KH. As'ad Humam dari
Yogyakarta. Maka wajar jika kemudian metode yang satu ini lebih digandrungi dan
lebih freandly di tangan anak-anak bahkan hingga sekarang ini. Lain
halnya dengan metode qiraati dan tilawati, yang sekalipun juga
berskala nasional, namun karena sistem pembelajaran dan marketinganya berbeda,
yakni harus ada sertifikasi guru bagi para calon pengajarnya, dengan melewati munaqasah
(tes) yang ketat dan bukanya pun tidak
terjual bebas tapi pada agen tertentu,--menjadikan kedua metode ini tidak
terlalu familiar di kebanyakan penduduk daerah.
Ketidaktenaran suatu metode
termasuk qiraati dan tilawati ini, yang kemudian berlanjut pada rendahnya minat anak-anak
untuk mengonsumsinya, barangkali bukan terletak pada sisi kekurangan dan kelebihannya.
Karena berbicara satu metode yang hendak diaplikasikan pada satu instansi tertentu,
bukan lagi membicarakan sisi kelebihan dan kekurangan di dalamnya lagi, melainkan
beralih pada perbincangan kecocokan atau tidaknya untuk diterapkan pada lembaga
yang bersangkutan itu. Artinya, mungkin saja metodenya amat baik dengan berbagai
kelebihan yang ditawarkan, namun kenyataannya ia tidak cocok untuk diterapkan di
satu lembaga pendidikan tertentu.
Sebagai contoh, di Madrasah Diniah Al-Hikam
(MADIN) Depok. Di mana di madrasah ini, metode yang dipergunakan adalah metode Tilawati.
Karena ia lebih cocok dan lebih representatif dibanding dengan metode iqra.
Cocok di sini adalah adanya kesesuaian antara sistem pembelajaran yang ditawarkan
dalam suatu metode dengan kondisi lembaga terkait. Karena Madrasah Diniah
Al-Hikam mampu dan bisa memenuhi sistem pembelajaran yang ada di metode tilawati,
yakni harus menyediakan pengajar yang banyak,
tempa yang luas karena sistem klasikal, dan pengajarnya harus kompeten
di bidangnya, dan itu semua ada di madrasah ini, maka wajar jika MADIN Al-Hikam
lebih memilih metode tilawati dibanding iqra'. Jadi, sekali lagi, bahwa yang melatarbelakangi
suatu metode pembelajaran ada yang diterapkan dan ada yang tidak, itu tergantung
dengan seberapa tingkat kecocokan bagi lembaga yang akan mengaplikasikannya.
Tentu, setelah menimbang kelebihan dan kekurangan
dari metode itu. Maka sah-sah saja jika kemudian dikatakan,"semua metode
itu baik dan bagus, tinggal cocok atau tidaknya." [ ]
Comments
Post a Comment