Tafsir Cocokologi Ustad Syar'i

Tafsir Cocokologi Ustad Syar'i


Jum'at lalu (11/10/2018), secara kebetulan saya mendengar satu khutbah Jum'at yang sedikit agak "nakal" dan membuat telinga ini "gatel" untuk terus memperhatikannya. Bagaimana tidak, sang khatib---- sebut saja Ustad Syar'i-----, dengan lantangnya menyampaikan satu tema dengan nada provokatif dan sarat dengan sindiran terhadap pemerintah dan warga negara tercinta ini. Meski tidak dengan bahasa yang lugas, namun sangat jelas, si Khotib menyatakan ketidaksetujuannya dengan sistem kepemimpinan Indonesia (baca: demokrasi) dan perilaku bejat sebagian masyarakat, khususnya para anggota dewan yang lalim--- yang menurutnya, itu adalah faktor utama mengapa negara ini terus dirundung duka dan terus mendapatkan bencana bertubi-tubi. Dengan kata lain, "bencana yang melanda negeri ini, yakni longsor, gempa, banjir dan Tsunami (disingkat dengan LGBT), itu bukan disebabkan karena lempengan bumi yang saling bertabrakan atau unsur alam yang sudah tidak stabil lagi,  melainkan karena banyaknya maksiat dan kemungkaran yang merajalela dan kesewenang-wenangan para pemimpin negeri yang jauh dari syariat Islam." Katanya.

Lebih membuatku tak tahan lagi adalah karena si ustad ini selalu mengait-ngaitkan ayat Al-Qur'an dan menafsirkannya secara spekulatif tanpa memperhatikan teks dan konteks ayatnya, hanya untuk mendukung semua statement dirinya itu. Sehingga tidak berlebihan, bila saya sebut tafsirannya adalah Tafsiran Cocokologi. Ya, sebab dirinya mencocok-cocokan suatu ayat dengan tafsiran yang mendukung pendapatnya sendiri. Sehingga sejak saat itu , sementara saya menduga bahwa khatib tersebut termasuk pejuang Islam kaffah atau lebih tepatnya, mujahid khilafah Islamiyyah (baca: HTI). Hal ini terlihat dari konten ceramahnya yang mengindikasikan atas seruan menerapkan syariat Islam kaffah dalam bingkai negara Islam (daulah Islamiyyah). Untuk itu, ada baiknya saya sampaikan dua hal dari isi khutbah tersebut yang barangkali perlu diluruskan kembali.

Pertama, ungkapan" penyebab terjadinya bencana alam (sejatinya) karena merajalelanya kemungkaran, pemimpin yang dzalim, dan sistem negara yang tak syar'i (baca: buatan manusia)". Secara umum, ungkapan ini bisa dibenarkan. Namun, bila dicermati lebih mendalam, ternyata cukup bermasalah. Mengapa, karena ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa semata-mata hanya kemungkaran lah yang mengundang datangnya musibah alam. Padahal secara sunnatulah, datangnya bencana juga disebabkan oleh kondisi alam atau kosmos itu sendiri yang dinamis dan mengalami perubahan bahkan pada saatnya akan hancur. Dalam Al-Qur'an disebutkan;

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

"Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS. al-Qashas[28]: 88).

Ayat ini sangat jelas menginformasikan bahwa Allah itu abadi . Dan selain-Nya atau yang disebut dengan makhluk --- yang termasuk di dalamnya ada alam ini--- itu hancur/mati berdasarkan masanya masih-masing. Dengan kata lain, tidak pas bila langsung menyamaratakan bahwa datangnya bencana alam itu semata-mata karena ulah kemungkaran umat manusia, melainkan juga memang ada campur tangan dari unsur alam ini yang semakin tua dan mengalami kehancuran, sebagaimana keterangan ayat tersebut. Jadi, tidak salah bila kemudian ilmu pengetahuan menyebutkan bahwa penyebab gempa di negeri ini, seperti di Lombok, palu atau di Situbondo pada minggu lalu, itu disebabkan oleh lempengan bumi yang mengalami pergeseran. Ini adalah adalah sunnatulah dan sifat alamiah yang natural.

Lebih jauh lagi, kekeliruan ungkapan khutbah di atas juga tertera pada ungkapan "penggunaan sistem negara non Syar'i" yang seakan-akan ini meng-judge bahwa silih bergantinya bencana alam di Indonesia ini itu tidak lain karena negaranya tidak menerapkan sistem Islam (baca: nidzamul Islam), tapi justu menerapkan sistem non Syar'i atau hukum normatif-demokrasi. Pendek kata, karena sistem demokrasi lah, bumi Pertiwi kita selalu terkena musibah bencana alam. Dan hanya syari'at Islam yang bisa menyelamatkannya. Baik, pertanyaan ini memang ada benarnya. Namun, lagi-lagi terlalu memaksakan kehendak dan menganggap paling benar (truth claim). Mengapa, karena mengira bahwa dengan mengganti sistem kenegaraan, semuanya akan Aman, selamat dan makmur. Padahal, aman atau damainya suatu negara itu lebih dominan ditentukan oleh perilaku warga negaranya. Bila masyarakatnya berkarakter, memiliki spiritual yang kuat dan intelejensi yang potensial, negaranya aman. Namun sebaliknya, bila masyarakatnya dzalim, serakah, jauh dari agama dan tatakrama, maka dipastikan negaranya diambang kehancuran. Dalam hal ini, Allah menegaskan;

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

"Jikalau penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (QS. al-A'raf [7]: 96).

Dalam ayat di atas, yang disebutkan adalah ahl al-qura (penduduk bumi)---- yang ini tentu menunjukkan bahwa keberkahan (baca: makmur/damai) suatu negara itu ditentukan oleh penduduknya. Dengan kata lain, sistem negara tidak menjadi patokan utama untuk meraih keberkahan itu. Asalkan penduduknya beriman, takwa dan meninggalkan keharaman, negara tersebut akan menjadi Baldatun Thayyibatun wa rabbun Ghafur. Dan dari ayat itu pula, tindakan preventif untuk mencegah terjadinya bencana suatu negeri, itu bisa dimulai dari penguatan spiritual pendukungnya; bukan malah langsung memaksakan pergantian sistem ketatanegaraan itu sendiri. Karena sistem tidak selamanya salah, tapi pelakunya lah yang acapkali menyalahgunakan nilai-nilai luhur sistem tersebut sehingga menjadi keliru nan fatal.


Kedua, pernyataan khatib yang menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk menepis ancaman bencana alam adalah dengan kembali kepada Allah dan kembali kepada syari'at Islam. Sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 156 disebutkan;

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." (QS. al-Baqarah [2]: 156).

Betul memang, bahwa ayat ini adalah anjuran untuk selalu mengingat posisi kita sebagai makhluk yang tidak abadi alias akan mengalami ajal dengan cara mengucapkan kalimat taraji' tersebut setiap kali dirundung musibah atau bencana. Namun keberaatan saya adalah tafsiran si khatib tersebut pada kalimat "اليه راجعون (kepada-Nya kami kembali) yang menunjukkan pada dua makna yakni, الرجوع الى الله (kembali kepada Allah/meninggal) dan  الرجوع الى شريعة الإسلام  (kembali kepada syari'at Islam). Untuk makna pertama tidak ada masalah, karena memang dzahir ayat menjelaskan demikian. Numun untuk tafsiran yang kedua itu yang agak terlalu memaksakan---bila enggan dibilang mengada-ada. Mengapa, ya, karena penafsiran dengan makna kedua tersebut nampaknya hanya terinspirasi dari pemaknaan secara bahasa (tafsir lughawi) saja---- yakni dari kata راجعون  yang akar katanya, رجع, itu (dikira) bisa memiliki kemungkinan makna (muhtamil ma'na) yang lain selain makna pertama tersebut alias multitafsir. Tentu, cara penafsiran seperti ini tidak dibenarkan , apalagi dalam kasus ini, sarat dengan fanatisme golongan tertentu sebagai hujah pendukungnya. Secara sederhana, penafsiran kedua tersebut tidak tepat karena keluar dari konteks ayat (dzhir ayat) dan muhasabah ayat itu sendiri.

Kita tahu bahwa dzohir ayat tersebut adalah tentang pengakuan kita ---maklukh Allah--- sebagai materi yang tidak abadi dan akan kembali kepada-Nya. Sebagaimana asal muasal penciptaan dulu. Sementara munasabahnya (keterkaitan dengan ayat sebelumnya) adalah sebagai penghibur atau penenang bagi orang yang ditimpa musibah berupa ketakutan, kelaparan, paceklik (QS. Al-Baqarah [2]: 155) untuk menfucapkan kalimat taraji', karena kalimat tersebut dapat membuat mereka lebih dekat dengan sang pencipta, Pemberi ketenangan yang hakiki. Oleh sebab itu, para ulama tafsir tidak mengartikan ruju' tersebut dengan makna kedua, yakni kembali kepada syari'at Islam; melainkan hanya satu makna , yakni kembali kepada Allah di akhirat kelak. Ibnu kasir misalnya, beliau dengan tegas berkata demikian; "Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti." (Tafsir Ibnu Katsir/1/167).

Bahkan al-Qurthubi, salah satu mufasir yang sering menjadi rujukan mujahid khilafah, ternyata juga tidak mengindikasikan penafsiran dengan makna kedua seperti ustad tersebut. Berikut cuplikan lengkap pernyataan ulama satu ini;

الرابعة : قوله تعالى : قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون جعل الله تعالى هذه الكلمات ملجأ لذوي المصائب ، وعصمة للممتحنين : لما جمعت من المعاني المباركة ، فإن قوله : إنا لله توحيد وإقرار بالعبودية والملك
. وقوله : { وإنا إليه راجعون } إقرار بالهلك ، على أنفسنا والبعث من قبورنا ، واليقين أن رجوع الأمر كله إليه كما هو له

"Keempat; firman Allah "إنا للله وانا اليه راجعون " dimana Allah menjadikan kalimat ini sebagai pelindung/penghibur bagi orang-orang yang terkena musibah. Dan sebagai penjaga bagi orang-orang yang mendapat ujian, sebab mengandung banyak keberkahannya. Maka firman Allah: إنا للله  adalah simbol pengesaan dan pengakuan peribadatan (monoteisme) dan kekuasaan; dan firman-Nya: وانا اليه راجعون  merupakan pengakuan atas kesirnaan/hancur (baca: mati) bagi jiwa-jiwa kita dan kebangkitan dari alam kubur kita. Dan suatu keyakinan bahwa kembalinya segala sesuatu, itu hanya kepada Dia." (Tafsir al-Qurthubi/1/245).

Alhasil, pemaknaan kedua yang disebutkan dalam konten khutbah tersebut itu terlalu jauh dari penafsiran yang mu'mu'tabaar dan perlu mendapat koreksi lebih serius. Supaya kedepannya,tidak ada lagi oknum ustad ahli Cocokologi ayat hanya untuk mendukung golongannya sendiri. []






Comments