Menjual Agama Demi Kebebasan


Menjual Agama Demi Kebebasan

Minggu yang lalu, tepatnya Jum’at tanggal 11 Januari 2019, dunia digegerkan dengan pemberitaan sorang gadis umur 18 bernama Rahaf Mohammed Alqunun yang menyatakan murtad dari agamanya, Islam dan meminta perlindungan melalui suaka politik ke Amerika Serikat (AS), Kanada, atau Australia,  hingga kemudian ia te
rbang ke Kanada dan mendapatkan proteksi dari lembaga Negara tersebut. Yang menggegerkan dari kasus ini adalah karena ia ternyata anak dari seorang gubernur di Arab dan alasan pemurtadannya itu pun diduga karena sering mendapatkan penyiksaan/cemoohan fisik dan psikologis dari keluarganya hingga ia dikurung selama enam bulan sesaat setelah dirinya memangkas rambut---sebagaimana yang dikutip sindonews.com(12/1/2019).
Dan kini, ia telah memperoleh suaka dan dukungan dari perbagai pihak bahkan sampai dipuji-puji sebagai perempuan yang berani menegakkan HAM di atas diskriminasi kebebasan individual. Dalam pengakunnya, memang ia ingin hidup seperti perempuan di belahan dunia; yang memiliki kebebasan, yang memiliki ruang public dan yang dapat memberikan kebijakan dalam posisi strategis. Pasalnya, potret kehidupan perempuan di Arab, tidak tekecuali dengan Alqunun, penuh dengan keterikatan aturan baku dan selalu mendaptakan posisi subordinat di bawah derakat laki-laki seperti harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari muhrimnya (suami, ayah, saudara kandung) ketika keluar rumah atau ketika hendak membuat surat catatan sipil (KTP, Paspot, ATM dll). Di tambah lagi dengan ditempatkannya pada posisi tersebut, mereka termasuk yang dialami gadis belia di atas, seringkali diperlakukan kasar dan tak manusiawi. Hal demikianlah yang mendorongnya untuk memutuskan murtad.


Dari kasus di atas, setidaknya ada beberapa catatan penting yang menjadi perhatian kita-khusunya dari kaum muslimin dunia. catatan itu adalah:
Pertama, soal kepercayaan itu merupakan hak individual. Artinya, siapapun boleh memilih keyakinannya masing-masing; tidak boleh ada paksaan sedikitpun di dalamnya. Karena ia adalah kebebasan yang terjamin dalam hukum. Dalam Islam misalnya, Allah terkesan telah memperkenankan hamba-Nya untuk menjadi orang yang berikan atau kafir. Dia berfiman demikian:
 “dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi[18]: 29).
Dalam ayat yang lebih tegas lagi, Dia juga menyatakan: “tidak ada paksaan dalam beragama…”(QS. Al-Baqarah[2]:256). Begitu pula dalam hukum positif di Indonesia, di mana konstutusi kita telah mengatur semua itu, yakni Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD “45) yang berbunyi:“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Dengan demikian, soal pemilihan agama adalah soal hati nurani dan tidak boleh ikut campur atau memprovokasi kebebasan tersebut sehingga menjadi sebuah pakasaan dan keterpaksaan yang mengekang mentalnya. Biarkan masing-masing mereka mendapatlan konsekuensi dari pilihannya tersebut.
Kedua, karena memilih agama atau kepercayaan adalah suatu kebebasan , maka konsekuensi selanjutnya adalah setiap orang harus bisa bertoleransi; dilarang keras untuk menghina atau mendiskrimasi apalagi sampai menghalalkan darah pemeluk agama lain yang berbeda. Oleh sebab itulah, dalam Islam seseorang dihimbau untuk tidak mencemooh kaum,kubu atau golongan lain. Karena sisi kebaikan tidak mutlak melekat pada satu pihak semata. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11).
Lebih tegas lagi, agama terkahir ini juga melarang pemeluknya untuk memaki agama lain, karena impikasinya justru akan berbalik kepada agamanya sendiri yang dimaki-maki mereka. Dalam hal ini Allah berfiman: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS.Al-An’am[6]: 106).
Sehingga, baik larangan menghina kaum lain atau memaki sesembahan agama lain keduanya adalah aksi nyata dari sikap tolerensi itu sendiri. Oleh sebab itulah, Nabi pernah mengatakan bahwa ukuran agama yang paling baik nan dicintai Allah adalah yang agama yang mengedepankan nilai kerukunan dan penuh toleransi dalam ragamnya perbedaan, atau yang selanjutnya disebut dengan hanifiyyah samhah.
Ketiga, meski memeluk kepercayaan adalah suatu kebebasan, namun seseorang harus menentutukan pilihannya. Dan ketika ia telah memilih satu kepercayaan berarti kebebasan itu tidak lagi mutlak, melainkan menjadi kebebasan yang terikat. Misal seseorang yang sebelumnya tidak menentukan pilihan dalam beragama, namun kemudian ia memutuskan memeluk Islam, maka harus tunduk dan patuh kepada aturan Islam tersebut dan sanggup menerima segala konsekuensinya. Tidak lagi sebebas tatkala ia belum menyatakan pilihannya tersebut. Allah berfirman:
Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan memasukkannya ke dalam jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar hukum-hukum-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan baginya adzab yang hina.” (QS. Al-Nisa’[4]:13).

Begitu pula orang yang memutuskan memeluk Kristen atau Budha, maka secara otomotis ia telah terikat dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam kedua agama tersebut dan tentu ada sanksi tersendiri ketika menerjangnya.
Keempat, sebenarnya, persoalan agama atau kepercayaan merupakan fitrah basyariyyah (fitrah manusia). Artinya, sebelum dilahirkan, manusia sudah difitrahkan untuk metauhidkan tuhan yang diperyainya, dan telah difitrahkan untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan tersebut. Pendek kata, [sejatinya] manusia dilahirkan telah dalam keadaan bersislam. Hanya saja setelah dilahirkan, fitrah itu berubah menjadi pilihan dan kebebasan yang dipengaruhi oleh sisi keturunan nenek moyang pendahulunya. Sehingga fitrah berislam itu berubah menjadi pilihan memeluk yahudi atau nashrani. Hal ini senada dengan hadits Nabi yang menyatakan: “Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani” (HR. Bukhari-Muslim). Atau dalam riwayat serupa juga disebutkan:
Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata) Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri (yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus. (HR. Bukhari).
            Sehingga berdasarkan hadits ini, kasus gadis Arab di atas yang memutuskan keluar dari agama Islam, saya kira adalah suatu tindakan keliru---bila engggan disebut salah. Sebab ia telah memutuskan fitrah basyariah dirinya yang memang telah ditakdirkan untuk menjadi muslimah lantaran orang tua dan lingkungannya yang sudah islami. Namun ia justru  mengira bahwa murtad dengan dalih memilih kebebasan adalah suatu putusan yang tepat. Padahal,--dalam pandangan Islam---kebebasan yang diyakininya itu jutsru mengantarkannya mendapatkan sanksi yang amat baik sanksi duniawi maupun ukhrawi. Mulai dari amalnya tidak akan diterima (QS. Ali’Imran[3]: 85), amal ibadahnya terputus (QS. Al-Baqarah[2]: 217), haknya sebagai seorang muslim sirna (HR. Bukhari-Muslim), haram menikahi wanita muslimah (QS. Al-Baqarah[2]: 221), tidak bisa menjadi pernikahan dalam pernikahan (QS. Al-Tubah[9]: 71), tidak mewarisi dan tidak diwarisi hartanya (Mutafaqun’alaihi), hingga tidak diperbolehkan dikuburkan di pemakaman muslimim (QS. Al-Taubah[9]: 84).
Kelima, meski murtadnya putri gubernur tersebut adalah kehendak pilihannya sendiri, namun tidak adil rasanya bila hanya menyudutkannya sebagai pihak yang paling bersalah (menurut agama--red). Sebab, dirinya seperti itu juga lantaran dari perlakuan keluarganya yang semena-mena. Maka pihak keluarga juga harus mendapatkan sanksi tegas. Karena anak adalah tanggung jawab orang tua dan dosanya juga ditanggung oleh keduanya karena kesembronoan mereka berdua tersebut dalam mendidiknya. Nabi bersabda:
"kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. Pemimpin di antara manusia dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dalam rumah tangga serta anak-anak suaminya dan dia akan ditanya tentang mereka. Budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah bahwa kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang tentang kepemimpinannya" HR Bukhar-Muslim).
 Sehingga ini perlu menjadi catatan penting untuk semua keluarga, bahwa cara mendidik anak itu sangat mempengaruhi sikap dan mental serta arah hidup mereka di masa depan. Keluarga harus bisa mengarahkan seisi rumahnya berada di jalan Allah dan terjalin dalam ikatan kasih sayang dan keselamatan dunia-akhirat. Oleh sebab itulah, Allah berfirman; "“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).
Dan tentu, cara yang tepat adalah mendidiknya bukan dengan tekanan, kekerasan atau tindakan ekstrim lainnya. Melainkan dengan penuh cinta, kepedulian dan kasih sayang.  Sebagaimana yang diperintahkan Nabi tentang hal ini; "Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu." (HR Al-Bukhari-Muslim).
Keenam, peristiwa murtadnya gadis Arab tersebut yang dipilihnya sebagai "pelarian" dari penyiksaan keluarga, jutsru semakin menambah stigma hitam agama Islam, yakni lagi-lagi dinilai sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan menolak kebebasan. Tentu ini semakin menyesakkan dada umat muslim dan menjadi bibit lahirnya intoleransi dan diskriminasi antar pemeluk beragama. Padahal, Islam dan ajarannya----sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an dan AlHadis---sama sekali tidak mengajarkan kekerasan. Justru Islam sangat toleran dan bijaksana dalam kebebasan. Buktinya, islam memberikan kebebasan meyakini kepercayaan masing-masing dan melarang adanya paksaan (untuk memeluk agama) tertentu.
Di samping itu, Islam juga sangat ramah mengajarkan pendidikan. Khususnya pendidikan di lingkungan keluarga. Yakni terbukti dari adanya anjuran agama untuk terus menjaga anggota keluarga dari kubangan maksiat dan neraka (QS. al-Tahrim:6) dan juga perintah keramahan dalam memberikan nasihat kepada mereka (QS. al-Nahl [19]: 125). Jadi, yang perlu dikoreksi adalah pemeluknya, bukan Islam itu sendiri. Karena pemeluknya sering kali yang menampilkan wajah yang garang nan keras karena terpercaya oleh nafsu dan pemahaman agamanya yang keliru.
Ketujuh, diperlakukannya perempuan pada posisi terendah dan disubordinatkan di bawah derajat laki-laki seperti yang diakui Alqunun karena keluarganya, menjadi PR dan problem cukup serius yang perlu disikapi dengan cermat. Sebab, jika hal demikian dibiarkan maka peran perempuan akan seperti "banyak murah" yang hanya bisa ditindas dan dijualbelikan begitu saja. Dan pada kesempatan lain, kondisi seperti ini dikhawatirkwn akan "dimanfaatkan" oleh laki-laki untuk memenuhi nafsunya dengan dalih bahwa "surga istri berada di suaminya". Sehingga mereka memperlakukan istrinya seperti budak yang tugasnya hanya berkutat pada sumur, dapur dan kasur. Atau mereka akan melakukan poligami tanpa harus izin dan mengerti perasaan istrinya dengan iming-iming "surga" yang mereka tawarkan tersebut. Maka kajian kesetaraan gender dalam hal ini menjadi penting dan perlu angkat bicara setegasnya.
Menurut hemat penulis, terjadinya kondisi memprihatinkan ini---sebagaimana yang tergambar pada potret kehidupan perempuan di Arab---itu disebabkan karena pemahaman agamanya yang terlalu fanatis, leterlek dan kaku. Khususnya dalam memahami ayat tentang kedudukan laki-laki itu adalah pemimpin wanita; 
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.  (QS. al-Nisa [4]: 34)".
Menurut sebagian orang, ayat ini dipahami sebagai informasi dan hujah bahwa sampai kapan kaum laki-laki selalu berada di atas perempuan. Karena mereka memiliki kelebihan baik fisik maupun pikiran. Karena pemahaman inilah, timbul perlakukan pendindasan dan kesewenang-wenangan terhadap kaum hawa. Padahal, maksud dilebihkannya kedudukan laki-laki adalah dari segi kodratnya atau fitrahnya sebagai makhluk, yakni yang memiliki fisik kuat, berani, dan mengayomi dan melindungi kaum perempuan. Sementara dalam sisi gender, mereka sejajar. Banyak ayat yang menegaskan hal  ini, seperti kesetaraan diciptakan dari nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa (QS. al-Nisa[4]:1), sama-sama dinobatkan sebagai Khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30), sama-sama memperoleh kemuliaan (QS. Bani Israil: 20), sama-sama berhak mendapatkan pendidikan dan beramal (QS. al-Nahl: 97), berhak mendapatkan pahala kebajikan (QS. al-Nisa[4]: 32), sama-sama boleh menjadi wali /pelindung satu sama lain (QS. al-Taubah: 71) dan masih banyak lagi.
Sehingga dengan pemahaman agama seperti ini, optimisme perempuan untuk bernafas lega akan bisa terwujud. Mereka akan mendapatkan peran dan kiprah yang mulai dan mereka pula yang akan menentukan shaleh dan shalihahnya anak-anak mereka di masa depan.
Terakhir, hikmah utama dari peristiwa yang dialami gadis Arab tersebut adalah soal ketabahan dan kuliatas iman seseorang. Artinya, ketika iman seseorang kuat, seberat apapun ia mengalami rintangan atau penyiksaan, ia akan tetap menjaga kemurnian imannya. Jangan sampai lepas dan terbeli hanya karena kenikmatan duniawi. Pendek kata, keimanan yang kokoh tak akan mendorong pemiliknya untuk menjual Agama dan kepercayaannya hanya untuk meraih kebebasan. Jika demikian, penulis jadi teringat bahwa apa yang dialami putri gubernur tersebut agaknya mirip dengan apa yang dialami oleh keluarga Yasar yang tetap mempertahankan keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, meski harus dibayar dengan penyiksaan dan hilangnya nyawa. Atau seperti kisahnya Aisyah, Istri Fir'aun yang memilih dibakar di wajan besar demi mempertahankan keyakinan tahuhidnya. Namun sayangnya, putri gubernur tersebut menyerah dan lebih memilih untuk menjual keimanannya demi kebebasan semata. Na'udzubillah. Semoga ia diampuni dan kembali ke jalan yang diridhoi. Walhasil, semoga kita dapat menjaga keimanan ini hingga di ujung hayat nanti untuk menjemput Husnul khatimah dan indahnya Surga. Amin. []

Comments