Shalat Bukan Sekedar Gerakan Fisik


Shalat Bukan Sekedar Gerakan Fisik

Sebagaimana kita tahu, bahwa shalat adalah ibadah mahdah (murni  yang tak bisa diwakilkan) yang menjadi kewajiban setiap mukallaf. Secara umum, ia diartikan sebagai suatu gerakan dan bacaan yang dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam berdasarkan pada syarat dan rukun-rukunnya. Betul, memang demikian arti dari shalat itu sendiri. Namun, jangan sangka ibadah satu ini hanya berhenti pada pengertian tersebut. Dalam arti, shalat tidak hanya dapat dipahami dari sisi fikih seperti pernyaatan di atas, akan tetapi juga bisa dimengerti dari sisi tasawuf. Pendek kata, makna shalat memiliki arti tersurat yaknisebagai ibadah fisik, dan juga arti tersirat sebagai ibadah batin. 

Untuk yang pertama, barangkali tidak ada masalah selagi dijalankan pada koridor yang benar. Sementara yang kedua inilah yang sering kali disalah artikan sehingga mencederai arti yang pertama atau malah dilupakan sehingga menghilangkan kualitas yang pertama. Maksud di salah artikan di sini adalah bahwa ada pemahaman atau keyakinan segelintir orang yang menganggap bahwa inti shalat adalah ingat. Yakni sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan: “...dan dirikankanlah shaat untuk mengingatku” (QS. Thaha[20]: 14). Oleh karena itu, kata mereka, dalam kondisi dan di manapun tempatnya, asal kita ingat kepada Allah itu sudah dikatakan sebagai shalat, meski tidak diimplementasikan dalam sebuah tindakan (baca: gerakan shalat). Pemahaman inilah yang selanjutnya sering dialamatkan kepada gagasan manunggaling kawula gustiSyekh Siti Jenar, seorang wali dan pelalu sufi tanah jawa.
Pada hakikanya, apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar kepada muridnya dengan gagasan manunggaling kawulo gusti tersebut tidak sepenuhnya di salahkan. Sebab memang benar hakikat dari ibadah shala adalah supaya kita selalu menginat kepada Allah dan menjadi hamba yang terus mengadi kepada-Nya dalam kondisi apapun. Akan tetapi, banyak orang awam yang salah memahaminya. Sehingga mereka keblinger dengan mengartikan sebaliknya. “Cukup ingat saja. Kita sudah shalat.”Kata mereka. Jika ini yang terjadi, maka shalat terhenti hanya pada ungkapan rasa semata bukan tindakan nyata. Dan pada gilirannya, mereka telah melakukan kesesatan karena melanggar perintah tuhan yang telah baku. Oleh sebab itulah, dalam beragam seseorang harus mengkombinasikan kecerdasarn fikih dan kecerdasan tasawuf atau dalam istilah lain menggambungkan ilmu syari’at dan hakikat.
Kemudian maksud shalat dalam sisi tasawuf yang sering dilupakan adalah bahwa kebanyakan orang  menilai shalat cukup terhenti pada gerakan shalat saja, sehingga tolak ukur bagusnya shalat hanya dilihat dari tatacara pelaksananannya saja. kami katakan ini tidaklah salah melainkan ada sisi yang dilupakan. Artinya, secara hukum mereka sah dalam melakukan shalat [sebatas] gerakannya, namun secara kualitas, sangat mungkin mereka rendah atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa. Mengapa?, karena mereka melupakan arti shalat yang kedua, yakni mengingat. Mereka khusuk dalam gerakan; ruku’, sujud dan bacaannya, namun hati dan pikirannya hilang kontak. Yang mereka ingat adalah urusan duniawi. Sementara, Tuhan yang semestinya dihadirkan, malah diabaikan begitu saja. inilah potret hamba pengagum simbol dan melupakan substansi yang sebenarnya. Inilah ahli ibadah yang dikhawatirkan mendapatkankan ancaman sebagai dalam hadit nabi: “tidak ada shalat (yang diterima) kecuali apa yang diakal (yang sadar atau khusyuk).” Maka tepat sekali petuah ulama yang mengatakam: “fikih tanpa tasawuf bisa fasik, namun tafawuf tanpa fikih bisa kufur”. Semoga kita  bisa menjalankan dua arti shalat yang dikehendaki tersebut. Amin. []

Comments