Tablig Akbar atau Tablig Kampanye?


Tablig Akbar atau Tablig Kampanye?

Di musim politik seperti ini, banyak pihak memanfaatkan momen penting tersebut dengan menyuarakan aspirasi dan dukungannya terhadap calon pemimpin mereka yang dianggap pantas untuk duduk di kursi jabatan negara. Pelbagai cara mereka lakukan untuk mengekspresikan aspirasi tersebut, mulai dengan membungkusnya atas nama a.genda pendidikan, sosial hingga mendompleng kegiatan keagamaan. Hal demikian sangat lah wajar dan diperbolehkan dalam undang-undang. Hanya saja, dari setiap agenda tersebut sering kali memicu keributan bahkan sampai menjatuhkan korban.
Ya, seperti yang tengah terjadi di Solo pagi ini (13/1/2019) sebag
aimana dikutip dari Kumparan.com, bahwa sekumpulan masa yang tergabung dalam kelompok Alumni PA 212 memadati jalan untuk mengadakan Tablig Akbar dan silahturahmi. Namun, bukannya menampilkan suasana tenang dan penuh kekhususan justru malah berubah menjadi keributan dan bentrokan antar masa dan kepolisian. Menurut kabar, hal tersebut dipicu karena agenda tersebut belum mendapatkan izin resmi dari Pemprov setempat. Sehingga akibat kejadian itu, satu polisi terluka dan 2 sipil tertembak.
Dan lebih mengherankan lagi, adalah ternyata aganda tersebut tidak semata-mata murni tablig akbar yang penuh dengan nasihat pengajian, melainkan justru menjadi ajakan kampanye (Tablig Kampanye) kepada salah satu Paslon tertentu, sehingga ia bisa dikatakan sebagai agenda politis yang sarat makar namun terbungkus dalam kesantunan busana dan atribut agama. Sehingga wajar, bila kemudian ada sekelompok pihak lawan yang berbeda pilihan tidak terima lalu melakukan perlawanan dan berakhir lah pada bentrokan fisik.
Melihat peristiwa seperti ini, tentu kita akan resah dan geram; sebenarnya apakah yang diinginkan oleh orang-orang ini?. Bukankah cukup dengan jalur perdamaian dan suasana kekeluargaan, penyiaran aspirasi rakyat dapat terlaksana alias (tidak harus turun ke jalan dan mendompleng kegiatan agama)?. Oleh sebab itu, mari kita simak beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu dicermati lebih serius setelah peristiwa tersebut terjadi. Hal tersebut adalah:
Pertama, secara umum, tablig Akbar berarti ajakan (menghadiri) acara besar dengan masa yang besar pula. Dan maklumnya, memang diisi dengan pengajian atau ceramah agama yang penuh dengan nasihat dan nuansa kekeluargaan. Dengan kata lain, Tablig Akbar adalah murni agenda keagamaan untuk mengajak masa supaya menjadi pemeluk agama yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta bisa menjalankan makruf nahi mungkar. Sementara yang terjadi di solo tersebut sudah bukan murni lagi dinamakan Tablig Akbar, tapi tepatnya Tablig Kampanye. Dalam agama, pelaku ini seperti orang-orang Bani Israil yang mudah mencampur adukkan kebaikan dan kebatilan dalam menjadi satu. Sementara mereka mengetahuinya. Atau dalam bahasa kekinian, lebih dikenal dengan "manipulasi agama untuk tujuan politik". Padahal dengan sangat tegas, Allah telah melarang tindakan demikian. Dia berfirman:
Artinya: "Dan jangan lah mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah menyembunyikan kebenaran sementara kalian mengetahuinya." (QS. al-Baqarah[2]: 42).
Kedua, kalaupun memang mendompleng dalam kegiatan keagamaan, semestinya aganda tablig kampanye tersebut tetap mengikuti jalur dan prosedur yang dibenarkan. Mulai dari perizinan yang sudah dilegal dari semua pihak yang berwenang, tidak menggangu aktifitas umum, dan menyuarakan dengan penuh kesantunan. Bukan dengan suara lantang yang merendahkan atau menyudutkan pihak lawan bahkan memfitnahnya, namun dibarengi pekikan takbir supaya lebih islami. Karena hal tersebut adalah suatu kekeliruan, bila enggan menyebutnya kedzaliman. Hal ini disebabkan oleh tindakan mereka yang tidak memposisikan sesuatu sesuai pada kondisi dan tempatnya. Atau dalam bahasa sahabat Ali, mereka adalah orang mudah berbicara baik namun sebenarnya menginginkan keburukan. "Ucapannya benar, namun yang dinginkan adalah kebatilan." Demikian kata beliau lebih tepatnya.
Ketiga, pelaku kegiatan Tablig Akbar di atas yang kemudian justru mengganggu aktivitas lalu lintas umum dan berakhir pada kerusuhan, dalam kajian fikih, bisa terancam masuk dalam kategori Qutho'u Thariq (pemutus jalan). Artinya, mereka yang menggangu, menggunakan fasilitas umum di atas keinginan pribadi atau kelompok tertentu sebelum mendapatkan izin resmi bisa dikatakan sebagai pembegal jalan yang dalam aturan Islam, pelaku seperti ini wajib mendapatkan jarimah (hukuman) berupa permintaan untuk bertobat segera dan mendapat sanksi tegas dari pihak berwajib menurut tataran hukum perdata ataupun pidana negara ini. Yang mana jika aksinya melewati batas dan memakan korban, maka hukumnya adalah dipenjara bahkan dihukum mati. Dalam Al-Qur'an disebutkan;
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al Maidah: 33).
Keempat, terjadinya kerusuhan dan bentrokan dalam aksi tablig Akbar tersebut semakin memperburuk citra Islam dan Muslim itu sendiri. Akibatnya, Islam kembali dicap sebagai agama yang mudah buat keonaran atau malah justru mengajarkan anarkhis itu sendiri. Sementara muslimnya pun diklaim sebagai manusia bertemperamen tinggi, mudah emosi dan bengis. Tentu ini suatu penilaian yang amat menyakitkan dan semestinya menjadi kritikan tajam bagi mereka pelaku tablig kampanye tersebut supaya sadar dan bertaubat. Padahal kita tahu bahwa Islam itu adalah Agama penyayang dan penebar kedamaian. Berkaitan dengan ini, Allah berfirman:
Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS Al Anfal : 61).
Begitu pula dengan pemeluknya, yakni Muslim juga merupakan orang-orang baik-baik, pencinta kerukunan dan keharmonisan. Karena Muslim sejati adalah muslim yang dapat memberikan keselamatan untuk dirinya dan orang lain dengan lisan dan tangannya. Tak mengapa, pakaian gaul dan beratribut non agamis, tapi hati dan perilakunya menentramkan masyarakat. Atau kata orang sekarang disebut "tampang preman, tapi hati beriman" dari pada mareka yang berbusana syar'i dan beratribut islami, namun beraksi anakhi. Inilah hakikat Muslim sejati. Sebagaimana sabda Nabi menyatakan: "seorang muslim adalah orang yang dapat membuat ketenangan dari lisan dan kedua tangannya. "(HR. Bukhari).
Sehingga seandainya saja mereka pelaku tablig kampanye itu menyadari hal ini, tentu mereka akan lebih menampilkan suasana dan sikap yang kondusif nan penuh kebijaksanaan.
Kelima, soal pilihan itu boleh berbeda. Namun yang menjadi masalahnya adalah, jangan jadikan perbedaan itu sebagai alat untuk menghina, memfitnah, dan mendiskriminasikan pihak lain. Sebab perbedaan adalah rahmat. Ia hanya perlu dimengerti dan disikapi dengan penuh toleransi. Maka barangkali tepat, apa yang dikatakan kaidah fikih yang menjelaskan bahwa "Mari kita saling bersinergi dalam kesepakatan dan mari saling bertoleransi dalam perbedaan (نتعاون فيما اتفقنا ونعذر بعضنا بعضاً فيما اختلفنا)".  Artinya, dalam soal pilihan politik, kita mesti menerapkan pesan moral dari kaidah ini, yakni ditunjukkan dengan sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena kita sepakat bahwa kita adalah satu bangsa, satu negara, dan satu keluarga dari ibu Pertiwi ini. Kemudian juga dengan bersikap bijak dan toleransi dalam menyikapi semua perbedaan. Karena kita semua adalah ber-bhinneka tunggal Ika; berbeda-beda tapi tetep satu. Bila ini yang diterapkan oleh semua pihak dan dalam agenda apapun, insyaallah kerukunan dan perdamaian adalah suatu keniscayaan yang berhak untuk dinikmati.
Demikianlah hal-hal yang mesti dicermati kembali. Dan intinya satu, beragama lah dengan santun dan berpolitik lah dengan bijak. Dan kalau menginginkan keduanya, maka tampilkan lah dengan integritas yang tinggi sembari bertoleransi pada perbedaan. []



Comments