Khilafah dalam Perpekstif Suni
Oleh Zakiyal Fikri Mochamad
Salah satu ormas yang cukup aktif menggunakan nash-nash Al-Qur’an untuk
mendukung ideologinya adalah kelompok HTI (Hizbu Tahrir Indonesia). Sebagai
organisasi politik transnasional berbasis keagamaan, HTI tidak segan-segan
menampilkan dalil-dalil agama untuk melegalkan wacana khilâfah islâmiyyah impian mereka. Baginya, konsep khilâfah
islâmiyyah adalah bagian dari agama itu sendiri yang wajib ditegakkan
melalui daulah islâmiyyah sebagi wadahnya. Lebih lanjut, ormas Islam satu ini
juga memandang bahwa sistem negara yang tidak berlandaskan pada syariat Islam jelas-jelas
tertolak bahkan menyebutnya sebagai thaghūt dan kekafiran.
Pernyataan ini
muncul sebagai implikasi pemahaman mereka terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Di
antaranya QS. al-Baqarah[2]: 30, QS. al-Nisâʹ[4]: 59, dan QS. al-Mâidah[5]: 49.
Menurut HTI, ketiga ayat ini merupakan dalil argumentatif yang menegaskan
tentang wajibnya menegakkan khilâfah islâmiyyah. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam ujaran para pemuka, tokoh dan kader-kader HTI. M. Ismail
Yusanto, kader sekaligus jubir HTI misalnya, menyatakan bahwa khilâfah adalah
ajaran Islam itu sendiri bukan ideologi. Ia berpandangan bahwa keabsahan khilâfah
ini sudah tertera jelas dalam Al-Qur’an salah satunya dalam QS. al-Baqarah
tersebut.
Lebih tegas
lagi, Rohmat S. Labib dalam Tafsir al-Wa’ie menyatakan bahwa mendirikan khilâfah
adalah wajib. Menurutnya, kata khalīfah dalam QS. al-Baqarah[2]: 30
tersebut tidak semata-mata dirartikan sebagai mandat personal untuk menjadi
khalifah di bumi, tetapi juga bermakna wajibnya seorang khalifah menegakkan khilāfah
sebagai sistem suatu negara. Lebih lanjut, Rohmat juga menyebutkan bahwa
maksud taat ulil amri pada QS. al-Nisâʹ[4]: 59 adalah seruan untuk
menegakkan pilar-pilar pemerintaan Islam berdasarkan syariʻah Islam di bawah
komando seorang ulil amri (khalifah). Melalui ayat ini, ia mengutarakan
sikapnya yang anti dengan demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah sistem yang
jauh dari Islam. Karena prodak jahiliyah yang jelas-jelas batil.
Pada kesempatan
yang sama pula, aktifis HTI ini juga berpandangan bahwa menerapkan syariʻat Islam
secara total adalah wajib secara mutlak dan itu bisa terlaksana hanya melalui
sistem khilâfah. Menurutnya, QS. al-Mâidah[5]: 49 di atas merupakan
hujah kewajiban ini, sebagaimana isi ayatnya yang menyeru menerapkan hukum Islam
baik kepada kaum muslim maupun non muslim. Sehingga, tegas dia, siapapun yang
tidak menerapkan syariat Islam secara total akan mendapatkan siksaan di dunia
dan di akhirat.
Penafsiran tentang khilâfah semacam ini
akan terlihat jauh berbeda bila kita bandingkan dengan penafsiran sekte-sekte Islam
klasik. Kelompok Sunni misalnya, memandang bahwa khilāfah islāmiyyah bukanlah
sistem baku yang musti ditegakkan. Melainkan sekedar opsi dari sistem-sistem
yang ada. Sebab, tidak ada hujah tegas baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang
menerangkan kemutlakan sistem satu ini sepeninggal Nabi. Tidak sampai di situ,
para mufasir dan pemikir dari kalangan Suni seperti al-Râzî, Ibnu Katsîr,
al-Qurthûbî, Wahbah al-Zuhailî juga tidak mamahami ayat-ayat yang
berkaitan tengtang khilâfah tersebut secara politis yang kemudian
menuntut wajibnya penegakkan negara Islam. Yang wajib hanya soal mengangkat
seorang imam (khalîfah)
dan wajibnya menjalankan syariat Islam sebagai bentuk perintah agama pada
umumnya. Oleh karena itu, banyak ulama dari kalangan Syafi’iyyah seperti al-Juwainî,
al-Nawawî, al-Ghazâlî, al-Amidi hingga al-Syahrostanî menilai persoalan
khilafah bukan bagian dari persoalan akidah—berbeda dengan Syiah— melainkan bagian
dari permasalahan fikih. Sehingga menghindar untuk tidak membahasnya adalah
tindakan terbaik supaya selamat dari bahaya ‘ashâbiyyah dan fanatisme. Menurut
mereka ini, khilafah adalah biang kerok perpecahan sehingga ambius dalam mewujudkannya
adalah tindakan ekslusif yang mencederai nili-nilai Islam itu sendiri yang ramah.
[]
Comments
Post a Comment