Keberkahan Ilmu


Keberkahan Ilmu

Dalam dunia pesantren, tentu tidak asing lagi dengan istilah "ngalap bekah" (Jawa: mencari berkah). Atau dalam bahasa arabnya lebih dikenal dengan "tabarruk". Banyak kehidupan dan perilaku para santri yang mengarah ke hal tersebut dan bahkan bisa dibilang ganjil atau menurut sebagian orang itu "memalukan". Sebut saja misalnya kebiasaan para santri mulai dari berjalan mundur sambil membungkukkan badan  ketika pamit dari hadapan kyai pengasuh, sungkem tangan beliau bolak balik, membalikkan dan merapikan sandal para santri yang lain ketika mereka tengah shalat sampai meminum air sisa pak kyai seusai pengajian dan lain sebagainya. Hal-hal semacam ini, menurut para santri diyakini sebagai faktor utama sekaligus wasilah untuk mendapatkan keberkahan di dalam ilmunya, atau paling tidak sebagai 'penyebab' untuk mendapatkan kemudahan dalam belajar.
Tentu, perilaku-perilaku semacam itu tidak bisa langsung  dinilai salah, justru dianjurkan. Karena sejatinya, semua hal tersebut merupakan cerminan dari akhlak seorang murid kepada gurunya, sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan kepadanya--yang mana kedua-duanya adalah 'syarat mutlak' dalam mencari keberkahan ilmu itu sendiri. Jika tidak dengan keduanya, lalu dengan apalagi seorang murid merasakan kenikmatan sebuah ilmu ?. Barangkali betul selali apa yang dikatakan oleh sebagian ulama: لا بركة الا في الحرمة  ( (tidak ada keberkahan kecuali dengan penghormatan).
Namun, ketika disandingkan dengan adat santri yang terkesan 'ganjil' seperti meminum sisa air sang guru---sebagaimana yang telah disebutkan di awal, barangkali kita akan bertanya-tanya: apakah hal tersebut juga bisa memberikan efek nyata bagi seorang murid untuk mendapatkan keberkahan di dalam ilmunya?. Untuk menemukan jawaban pertanyaan ini, kita perlu mengetahui terlebih dahulu makna 'berkah' itu sendiri secara tepat. Berkah, secara bahasa sering diartikan sebagai "kebaikan yang terus menerus, kasih sayang, dan anugrah".
 Oleh karena itu, istilah 'berkat' dalam tradisi Jawa- yang disematkan untuk sebuah  "paketan makan" setelah ditunaikannya tasyakuran dalam ritual tertentu, berarti mempunyai makna bahwa "oleh-oleh" tasyakuran atau berkat tersebut, diharapkan dan diyakini bisa memberikan satu kemanfaatan, kemaslahatan dan kebaikan bagi shahibul bait sendiri dan para tamu undangan untuk melancarkan hajat-hajat mereka. Dengan niatan bahwa berkat yang disajikan saat tasyukuran itu adalah sedekah yang bisa menolak berbagai marabahaya. Sebagimana sabda Nabi:
الصدقة تدفغ البلاء
"Sedekah itu bisa menolak marabahaya"
Sehingga dengan menyedekahkan 'berkat' kepada haidaitolan, kerabat dan saudara, kebaikan akan kunjung datang dan kemadhadatan pun akan hilang.
Begitu juga dengan istilah "tabarruk" yang dilakukan oleh beberapa kalangan  terhadap hal yang mempunyai kemuliaan dan karamah. Seperti tabaruk kepada para wali-wali Allah dan orang-orang shalih dengan menziarahi pekuburan mereka di waktu-waktu tertentu sambil mengumandangkan berbagai wirid, doa, shalat di dalamnya. Dengan harapan, semoga upaya semacam ini bisa mendatangkan kebaikan yang berkesinambungan bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka khususnya. Sehingga tidak jarang, ketika mereka melakukan ritual ziarah ini, kita akan menemukan mereka tengah berbondong-bondong mengantri untuk mendapatkan satu hal yang "dikeramatkan" seperti meminum air sumur peninggalan (Jawa: petilasan) sang wali umpanya.
Tidak hanya dalam suasana ziarah kubur, amaliyah "tabarruk" semacam ini juga bisa kita saksikan dalam ibadah haji yakni ketika para jamaah haji mengusap dan mencium Hajar Aswad tatkala mereka Tawaf. Tentu ritual tersebut, disamping memang sebagai bagian dari ittiba' Li sunnati nabiyy (mengikuti ajaran Nabi), melainkan sebenarnya ada tujuan mulia yang hendak dicapai di dalamnya, yakni supaya mendapatkan keberkahan, kebikaan dan manfaat dari benda yang sangat mulia itu.
Kendatipun Amaliah "tabarruk' oleh sebagian kalangan dinilai sebagai bentuk 'kemusyrikan" karena menggagap benda-benda keramat itu mempunyai kekuatan ampuh yang bisa merubah nasib dan memenuhi hajat seseorang----namun ternyata amaliah ini, sudah jauh-jauh hari telah dipraktekkan dan terlaku di zaman Rasulullah seperti yang dilakukan oleh beliau yang  membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau bercukur di saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga membagi-bagikan potongan kukunya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kktab Hadits-nya. Begitu juga yang dilakukan oleh para sahabat dan tabiin, dimana mereka juga bertabarruk dengan jubah Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Sebagai berikut:
“Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.
Kemudian, jika tradisi para santri yang meminum sisa air sang guru diqiyaskan (disamakan) dengan ritual meminum air petilasan waliyulah dan mencium Hajar Aswad, barangkali masuk akal. Karena di dalam keduanya, terdapat kesamaan 'tujuan' yang hendak diraih si pelaku tabarruk, yakni sebagai wasilah dan harapan semoga dengan meminum air sisa sang guru tersebut, seorang murid setidaknya ikut terkena kemulian yang dimiliki gurunya itu. Jadi Amaliah 'tabarruk' memang sudah dipraktekkan oleh generasi awal (sahabat dan tabiin).
Jika demikian, lalu apa yang dimaksud dengan keberkahan ilmu--- yang acapkali dinanti-nantikan oleh para pelajar bahkan banyak dari mereka yang merasa takut, kawatir, cemas jika keberkahan itu tidak ada dalam ilmu yang di dapatnya. Secara sederhana, keberkahan ilmu juga bisa dikatakan sebagai ilmu yang bermanfaat. Mengapa demikian? Karena sejatinya ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa mendatangkan kebaikan, kemudahan dan kemaslahatan kepada pelakunya dan orang lain sebagaimana makna berkah itu sendiri. Dan kita tahu bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan secara Istiqomah dan konsisten. Ilmu yang bisa dinikmati kegunaannya oleh orang lain, dan ilmu yang menjadikan seseorang pribadi yang jujur, tanggung jawab dan amanat. Inilah yang dimaksud dengan keberkahan ilmu. Tentu, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat tidaklah mudah. Ia harus melewati jalan terjal yang berliku-liku. Mesti memakan garam cobaan yang pahit. Dan terpenting adalah dibutuhkan usaha keras yang tak kenal lelah. Setidaknya ada beberapa kiat untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat itu sehingga keberkahannya akan sangat terasa. Kiat-kiat yang dimaksud adalah:

1. Niat yang tepat. Inilah faktor utama untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat. Karena motifasi seseorang dalam belajar akan menentukan hasil akhirnya. Jika motifnya benar, hasilnya juga manfaat dan maslahat untuk pribadinya dan orang lain. Berkaitan dengan ini, al-Ghazali (w. 505 H) dalam muqaddimah bukunya, Bidayah al-Hidayah, mengatakan bahwa motif (niat) dalam belajar ada tiga, pertama belajar bertujuan untuk meraup kekayaan dunia baik pangkat, derajat maupun kehormatan. Kedua, untuk mengumpulkan massa dan banyak pengikut supaya ia disanjung-danjung. dan ketiga, semata-mata untuk mencari ridlo Allah. Motif pertama dan kedua-lanjut beliau, tidak benar dan sangat bahaya. Sementara motif ketiga itulah yang benar dan sangat diwajibkan. Sehingga dengan ini, kemanfaatan ilmu yang membawa keberkahan di dalamnya itu bisa dicapai mula-mula dengan niat yang baik yakni untuk mencari ridlo Allah, menghilangkan kebodohan, dan menyebarkan syiar Islam.
2. Taat, patuh, dan hormat kepada guru. Bentuk ketaatan di sini tidak lantas langsung meng-iyakan segala apa yang diperintahkan olehnya. Namun tetap mengacu kepada hak-kewajiban yang Haq saja. Taat tersebut, bisa dengan ucapan kita yang lembut, tidak membentak-bentak, tidak mencaci maki dan memanggil namanya dengan "nama" yang lebih sopan seperti "wahai guruku, ustadzku dan lain sebagainya". Begitu juga bisa dengan tindakan seperti berjalan tawadhu di hadapannya, tidak memotong  tatkala beliauberbicara dan tidak melakukan hal-hal yang menjadikan ia marah atau geram.
3. Sabar dalam belajar. Sabar di sini ada dua arti. Pertama, sabar dalam belajar yaitu tidak mudah putus asa ketika pelajaran sulit dimengerti, Istiqomah dan konsisten. Kedua, sabar dalam menerima Irsyad (petunjuk) dari sang guru. Artinya, bisa saja dalam proses belajar mengajar kita akan mendapatkan suasana dan perilaku dari sang guru berbagai macam, yakni bisa disayang, didiamkan bahkan dampak dimarahin. Semua itu, harus disikapi dengan lapang dada dan sabar. Jangan kemudian kita benci bahkan melaknatnya gara-gara itu. Na'udzubillah.
4. Menghormati ilmu. Maksud menghormati ilmu di sini adalah tidak menyia-nyiakanya sewaktu ilmu itu disampaikan oleh guru, sementara kita dengan santainya berkata "ah, itu udah saya dengar dua tahun lalu, udah tahu saya, basi! umpamnya. Sekali jangan berkata demikian. Karena hal tersebut bisa menjerumuskan kepada kita kepada kehancuran menuntut ilmu dosen akan tingkah kita yang sombong dan sok tahu.  Bentuk penghormatan ilmu juga bisa dilakukan dengan menaruh buku-buku atau kitab-kitab yang kita pelajari harus lebih tinggi di atas buku yang tidak berisi ilmu. Namun ketika ada dua buku, yang satu buku keilmuan sementara yang satu adalah Al-Quran, maka janganlah al-Qur'an ditindih oleh buku itu, melainkan al-Qur'an ditaruh di atasnya. Tindakan semacam ini, tidak lain untuk menghormati buku paling mulai tersebut.
Barangkali inilah, beberapa kiat dalam berusaha mencari kemanfaatan dan keberkahan ilmu yang tengah kita cari. Sekalipun ini sangat sedikit, namun jangan salah, semuanya itu tidak udah dilakukan. Butuh kesadaran, keseriusan dan komitmen serta keistiqomahan yang membara. [ ]


Comments