Mondok Lama Dan Lama belajar: Dua Hal Yang Berbeda


Mondok Lama Dan Lama belajar: Dua Hal Yang Berbeda

Sudah bisa masuk pesantren adalah hal yang luar biasa. Dan bisa menguasai semua pelajaran di dalamnya itu lebih hebat lagi. Namun sayangnya, banyak santriwan-santriwati yang tidak seberuntung mencapai poin yang kedua itu, bahkan tidak sedikit dari mereka yang kandas tak mendapatkan apapun sampai lulus. Sebut saja pengusaan mereka terhadap Ilmu Nahwu-Sharaf atau sering dikenal dengan Ilmu Gramatikal Arab. Dimana kedua ilmu ini, di mata kebanyakan santri masih menjadi "momok" yang menakutkan atau paling tidak masih sulit dipahami dibanding dengan rumpun ilmu lainnya. Layaknya ilmu matematika yang begitu jlimet itu. Padahal mereka ditempa setiap hari untuk mengkaji kedua ilmu tersebut. Mulai di Diniah, majelis musyawarah atau Takror bahkan di sekolah formal di setiap paginya. Tetapi hal demikian tidak menjamin terhadap mereka. Artinya, tetap saja masih banyak yang tidak bisa. Dan lebih naifnya lagi, ada yang sudah mesantren lama taruh saja enam atau tujuh tahun, masih sangat dangkal pemahamnnya. Ditanya Isim, Fi'il  dan Huruf tidak bisa. Kan konyol.
Itu barangkali salah satu kasus yang amat menyesakkan dada, namun juga ada kasus lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan yaitu minimnya kualitas jebolan pesantren yang nantinya akan  diterjunkan di tengah masyarakat.  Atau dengan kata lain, masih banyak santri lulusan pesantren yang tidak memiliki prestasi ilmiah, amaliah agama dan kesiapan hidup- kalau meminjam istilah visi dan misi gagasan K.H. A. Hasyim Muzadi-. Dengan pengetahuan yang pas-pasan, mental yang selalu minder, dan keras kepala menjadi komposisi utama dalam menjustivikasi minimnya kualitas mereka. Sehingga jangan disalahkan, apabila pada saat waktunya, santri- santri yang seperti ini bisa berpindah halauan ketika bertemu dengan pihak yang lebih kritis dibanding dirinya. Bisa saja yang tadinya lunak menjadi ekstrimis, yang awalnya moderat menjadi fanatik dan seterusnya.
Dengan melihat dua kasus di atas, setidaknya kita bisa langsung menilai bahwa lama mesantren bukanlah satu-satunya jaminan untuk membentuk seorang santri menjadi sosok yang sukses. Melainkan jaminan utamanya adalah seberama lama ia bersungguh- sungguh dalam belajar dan mengaji pada waktu itu. Ya, hanya dengan sungguh- sungguh secara istiqomah, tiga kepribadian santri ( prestasi ilmiah, amaliah agama dan kesiapan hidup) di atas bisa tercapai dengan mudah. Insyaallah. Bukankah pepatah Arab selalu mengingatkan kita: " Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka akan sukses". Seorang penyair juga berkata:
اِجْهَدْ وَلاَ تَكْسَلْ وَلاَ تَكُ غَافِلاً فَنَدَامَةُ  العُقْبىَ لِمَنْ يَتَكاَسَلُ
“bersungguh-sungguhlah dan jangan malas. Dan jangan menjadi orang yang lalai. Karena penyesalan itu ada di akhir bagi orang yang bermalas-malasan.”
Dari sini jelaslah bahwa kunci sukses bagi seorang santri saat ia mesantren adalah mau bersungguh sungguh dan bersusah payah bukan bermalas malasan. Inilah jaminan utama untuk meraih kesuksesan itu, bukan sekedar lama di pesantren tapi tidak melakukan apa-apa. Oleh karena itu, kini saatnya kita perlu memaknai kembali pengertian "Thuluzzaman (lama waktunya)", sebagai salah satu syarat dalam menuntut ilmu sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali yang kemudian dikutip oleh Imam Az-Zarnuji dalam kitabnta, Ta'lim Al- muta'allim.
Perlunya kita menengok kembali maksud dari " Thuluzzaman" ini adalah supaya tidak salah paham dalam menilai kecerdasan atau keberhasilan seseorang langsung hanya dengan tolak ukur tahun belajarnya semata. Memang bisa dibenarkan kalau yang dimaksud dengan Thuluzzaman itu adalah belajar dalam waktu yang lama atau dengan kata lain sudah bertahun- tahun, tidak hanya sebulan atau dua bulan saja. Pengertian ini sejalan dengan sabda Nabi yang mengatakan bahwa menuntut ilmu itu mesti dari lahir sampai ke liang lahat. Sekali lagi memang betul maknanya bisa ditafsiri seperti itu. Namun jangan salah, ada satu makna lagi untuk Thuluzzaman" ini yang sebenarnya lebih penting dari makna yang awal tadi. Makna yang dimaksud adalah "lamanya belajar dan bersungguh- sungguh di dalamnya". Singkatnya, maksud " Thuluzzaman" yang kedua disamping makna yang pertama di atas itu ialah konsisten dan istiqomah dalam kesungguhan belajar- mengajar".Ini yang seharusnya menjadi bekal andalan bagi seorang santri disamping ia juga harus lama di pesantren untuk mencari ilmu. Namun sayangnya, dua makna ini masih dipandang berat sebelah dan lebih memilih makna yang pertama (Thuluzzaman dalam arti lama tahun mondoknya) sebagai makna yang lebih akrab di telinga masyarakat. Padahal esensi keberhasilan dalam Thalabul 'Ilmi adalah terdapat pada kesungguhan belajar itu sendiri secara konsisten dan istiqomah.
Pertanyaannya, apa yg menyebabkan mereka seperti itu: apakah karena pribadi mereka yang males, tidak sungguh sungguh, apakah karena pengajarannya yang tidak efektif, ataukah karena metodenya yang kurang relevan lagi,?. Silakan temukan jawabannya! Dan mari instropeksi diri: kita termasuk digolongan mana? ...[]


Comments