Zona Nyaman Membuatmu Tak Produktif

_"Banyak memahami bahwa zona nyaman merupakan sebuah prestasi yang membanggakan. Padahal tidak. Nyatanya, terlalu terbuai dengannya justru membuat seseorang tidak *produktif*. Sebab prestasi apapun, itu [tetap] tergantung dengan kadar *etos kerjanya* (الأجر بقدر التعب). Maka hanya ada satu kata, 'lawan atau terima apa adanya'!!."_

   Siapa yang tak ingin hidup nyaman, damai serba kecukupan?. Tentu setiap orang menginginkannya. Bahkan tidak jarang dari mereka yang berani "mengorbankan" semua yang dimilikinya (baca: tenaga, harta, harga diri) hanya untuk membeli nikmatnya kenyamanan itu. Ini adalah sebuah kewajaran dan memang sejalan dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang cenderung menginginkan kebahagiaan, ketenangan/perdamaian. Sebagaimana status mereka sebagai _basyar (بشر)_ yang menyiratkan bahwa manusia selalu merindukan kabar gembira bagi dirinya (بِشَارَة/بُشْرَى). 


Sayangnya, tatakala mereka telah mendapatkan kenyamanan itu, banyak yang terbuai dan terlena dengan kondisi yang serba nikmat itu. Sebab, nyaman adalah sebuah kondisi yang memungkinkan seseorang merasa tenang dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang diinginkannya, yang sangat mungkin hal tersebut justru membuat dirinya enggan untuk bergerak; enggan untuk menerima tantangan hidup yang lebih kompleks dan bahkan acuh tak acuh dengan kondisi sekitarnya. "Yang penting Aku nyaman," katanya. 

Bila ini yang terjadi, maka sudah sewajarnya seseorang akan menjadi jumud, stagnan dan tidak produktif. Ia hanya mau menerima yang telah diraihnya saja. Sementara terhadap iming-iming kenyamanan lain yang lebih menggiurkan, ia respon dengan kurang tanggap. Sebab, sudah merasa malas bila diperintahkan untuk melakukan usaha lagi. Mending menikmati kenyamanan yang ada saja. Begitu katanya. 

Itulah mengapa, di awal tulisan saya katakan bahwa kenyamanan merupakan zona yang bisa membuat pemiliknya tertinggal dari zaman, kudet bahkan eksklusif/anti terhadap dunia luar dan perkembangannya. Yakni bila kondisi nyaman itu terlalu dielu-elukan hingga sampai melupakan tugas dan kewajiban yang mesti ditunaikan. Meski kenyamanan tersebut ia anggap sebagai sejauh  "prestasi" yang luar biasa. 

Ya, alasannya sederhana yakni karena untuk mencapai prestasi atau kondisi nyaman butuh usaha dan etos kerja yang telaten. Artinya, Ia tidak lahir dari tangan kosong yang bermalas-malasan. Dengan etos kerja itulah, mimpi akan tercapai dan prestasi yang telah diraih akan menjadi lebih bermakna dan kontributif. Pepatah Arab populer mengatakan,

الأجر بقدر التعب
 _"Pestasi itu tergantung dengan kadar etos kerjanya."_

Pepatah ini mengajarkan kita untuk memiliki tekad dan kesemangatan dalam berusaha (etos kerja yang tinggi) dalam meraih tujuan hidup.  Tanpanya, semulia atau setinggi apapun suatu cita-cita tetap akan kandas dan menjadi isapan jempol belaka. Ingin menjadi penulis hebat misalnya, tentu seseorang mesti bekerja keras tanpa henti. Yakni bisa dimulai dari ketekunan membaca literatur, berlatih menuangkannya dalam tulisan hingga ikut serta dalam pelbagai pelatihan literasi. Semua ini adalah proses yang mau tak mau harus ia lalui. Begitu pula untuk menjadi seorang penyanyi profesional, tentu memerlukan latihan, keseriusan dan keistiqomahan yang terorganisir. Tanpa ini semua, mustahil keinginan mereka terwujud. 

Tidak hanya itu, dengan etos kerja itu pula, seseorang yang telah menempati "zona nyaman" berkat kesusksesan atau prestasinya dapat terselamatkan dari bahayanya sifat malas dan pasrah. Sebab, etos kerja tersebut memicu dirinya untuk mencari tantangan  dan prestasi baru yang lebih gemilang, tanpa harus mengorbankan prestasi lama yang sudah tercapai. Semisal seorang penulis atau penyayi tadi, bahwa bila keduanya terus memupuk etos kerjanya hingga ia termotivasi untuk melakukan gebrakan atau inovasi baru dalam profesinya dengan melawan rintangan-rintangan yang ada, maka ia akan menjadi produktif. Dantentu mendapatkan benefit yang lebih besar lagi. Namun sebaliknya, bila keduanya "berdiam diri" dan pasrah dengan keadaannya masing-masing; yang penulis sibuk membanggakan karya-karyanya di depan publik tanpa membuat  kembali karangan yang lebih luas dan yang penulis justru sibuk dengan job manggungnya tanpa terpikirkan untuk membuat album baru lagi, maka yang terjadi adalah stagnasi produksifitas dan lambat laun mereka akan lapuk hingga terhapus dalam lembaran sejarah prestasi dunia. Tentu ini adalah hal yang tidak diinginkan oleh siapapun.


Maka dari itu, zona nyaman hanya cukup disikapi dengan dua cara; melawannya atau justru  pasrah menerimanya begitu saja. Yakni melawan dengan etos kerja dan inovasi-inovasi yang menggemparkan, sehingga Anda menjadi pengukir sejarah yang tak pernah termakan zaman. Atau Justru anda menerimannya sebagai sebuah prestasi akhir hingga pada saatnya nanti, Anda sendiri yang akan tersingkirkan oleh persaingan zaman sebab terbua
i dengan "zona nyaman" itu. []

Tabik,
Depok, 2 April 2019

Comments